Dagang Asongan dan Pelarian
(Nostalgia sepucuk nyali)
Hari ini cuaca terasa sangat panas, sepulang dari mengawasi kegiatan pekerjaan di lapangan saya memilih pulang naik angkot, biar bisa sedikit ngadem daripada naik ojek yang tentu akan kepanasan.
Tapi suka duka naik angkot apalagi dalam kondisi cuaca yang terik seperti ini bikin gregetan, sopir angkotnya setiap ada orang berdiri pasti disangka penumpang, bahkan kucing berdiri pun mungkin disangka penumpang juga, setiap ketemu lorong berhenti untuk melihat kalau ada orang atau tidak, orang yang disinggahi juga kadang tanpa merasa berdosa meski tidak mau menumpang tetap diam saja tidak memberi tanda kalau tidak mau naik, asli bikin kesal.
Rasanya pingin cepat-cepat sampai, tapi ehh kena lampu merah lagi, pas di lampu merah saya melihat sekumpulan anak-anak usia sekolah ada yang mengemis, ada pula yang ngamen dengan alat musik seadanya, ada yang bawa kemoceng membersihkan mobil yang berhenti, ada juga yang jualan tisu, mereka mengharapkan ada pengemudi yang berbaik hati memberi mereka rezeki, seorang anak yang mengemis kebetulan singgah di angkot yang saya tumpangi, perasaan iba untuk memberi sedekah tentu saja ada di batinku, tapi saya juga ingat himbauan bahkan aturan dari pemerintah untuk tidak memberikan sesuatu kepada para pengemis.Â
Sebenarnya saya setuju dengan aturan itu, agar kebiasaan mengemis itu berhenti karena tidak ada yang memberi, kasian anak-anak ini harus menyia-nyiakan masa depan mereka dengan mengemis, tapi kalau mereka tidak mengemis terus darimana mereka mendapatkan uang ?
Masih bimbang antara memberi atau tidak ternyata sudah lampu hijau, angkot langsung cusss.... melesat bagai kilat mengejar calon penumpang yang terlihat berdiri di tepi jalan.
Mengingat anak-anak di lampu merah tadi, aku langsung terbayang masa-masa masih menjadi anak bawang dulu, berjibaku sebagai "pedagang" asongan di terminal pasar Mandonga (nama pasar di Kota Kendari).Â
Yah dulu kami dan teman-teman menjadi pedagang asongan, bukan karena orang tua tidak mampu, di jaman kami dulu kalau kita masih punya orang tua maka kalau hanya untuk hidup dan bersekolah pastilah masih bisa, kami berdagang asongan entah karena ikut ikutan, atau mungkin hanya sekedar mengisi waktu luang sepulang atau sebelum ke sekolah.
Jualan asongan kami di terminal Mandonga (dulu terminal dan pasar bersatu) dulu hanya tiga macam jualan yakni rokok, permen dan parfum tisu, semacam tisu basah kalau sekarang ini.Â
Saya ingat modal jualan dulu dari ngumpulin uang jajan, modal 5000 perak sudah bisa jualan, rokok yang laris dan "enak" dijual dulu itu Gud*ng G*r*m Intern*sion*l, yang di daerah kami disebut Gud*ng G*r*m "pete-pete" 100 rupiah dapat tiga batang modalnya 350 rupiah per bungkus yang isinya 12 batang, Â sehari itu bisa laku 9-10 bungkus.Â
Permen yang kami jual dulu itu permen trebor, kalau tisu parfum dulu itu dijual sachetan, ada 3 merek yang sering kami jual dulu, yang pertama itu merek colognette 4711 ini laris juga tapi mungkin karena keluarannya yang sudah lama jadi aroma wanginya sudah ketinggalan jaman, jadi bukan yang pertama ditanyakan oleh pembeli, yang biasanya ditanyakan pertama itu adalah merek Mandom atau Gatsby, Mandom terkenal karena ada iklan produknya di TV dengan bintang iklan Charles Bronson, kalau Gatsby kayaknya waktu itu produk baru jadi tampilan kemasannya menarik dan wanginya juga baru, harganya kalau tidak salah ingat 700 rupiah per kotak isi 10 sachet yang kami jual 100 rupiah per sachetnya, dalam sehari bisa laku 4-5 kotak.Â