Kala tuan menapak hari, dengan sepatu fantovel parlente baru, sesungguhnya sepatu butut tuan dirundung gelisah, gurat-gurat nestapa membuatnya tak berarti
Layar panggung kehidupan tuan terus berjalan, menyimpan derita sepatu yang terabaikan, berjejalan dalam kotak dingin berdebu, teronggok menunggu waktu dan terbuang
Kenangan bermain di pelupuk mata waktu, dengan iringan elegi nestapa mahluk terbuang, sang sepatu berteriak mengerang pilu, laksana harimau terluka yang lapar
Wahai tuanku dahulu aku kesayanganmu, aku adalah gesitmu, aku pelindungmu, menjadi alas tapakmu pada apapun yang kau pijak, aku bagai mahluk mabuk yang tak peduli panas dan kotor
Derap langkahmu tuan, aku bawa menuju tujuannya, seperti serdadu gila yang mati rasa
menapak semua kesengsaraan, guna mencapai ujung yang akan kau raih
Kilap yang kemilau mengundang lirik, dengan semir terbaik engkau memanjakanku, semua itu tinggal kenangan yang menyesakkan, tiada lagi puja puji, aku kini hanya seonggok sampah yang belum sempat dibuang
Bagi para sepatu-sepatu penghuni etalase
lupakanlah jumawamu, dari manapun engkau berawal, tempat terakhirmu tak akan lebih baik dari sudut kotak sepatu bekas.