PENJUAL TEROMPET
Saat itu malam tahun baru. Sudah sejak sore Sangkala' menggelar dagangannya di pojok taman kota, dimana biasanya menjadi tempat ramai berkumpulnya warga menyambut datangnya tahun baru. Ingin rasanya ia merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah dan tidur pulas mendengkur di atas balai bambu beralaskan kasur busa tipis di kamarnya. Namun hatinya miris, bayangan penghasilan dari penjualan terompet yang diharapkannya laris manis, ternyata jauh dari apa yang dibayangkannya, sudah satu minggu ini Sangkala' menjual terompetnya tapi terompet yang laku tak sampai dari seperempatnya, sudah dua tahun terakhir ini omzet dari penjualannya jauh menurun.Â
"Begitu sengsaranya hidupku ini" begitu Sangkala' membathin dalam hatinya sambil sesekali meniup terompet jualannya, untuk menarik hati anak anak kecil yang ikut bersama orang tuanya, agar minta dibelikan terompet, tapi tak satupun yang singgah walau hanya untuk sekedar bertanya berapa harga terompetnya. Sambil terkantuk kantuk Sangkala' tetap bertahan dengan harapan semoga malam ini dagangannya habis atau setidaknya modalnya bisa balik dan ada sedikit kelebihan sebagai pengganti dari  lelahnya.
Untuk menjaga supaya tidak jatuh tertidur, Sangkala' meneguk kopinya langsung dari thermos kecil yang sengaja dibawanya, digeleng gelengkannya kepalanya berusaha mengusir rasa pahit dari kopi yang sengaja ia buat kental. "Sayang anak... sayang anak..." teriak Sangkala' sambil meniup keras terompetnya, seorang bapak yang kebetulan pas melintas disamping Sangkala' terlihat kaget mendengar suara bising terompet yang tiba tiba ditiup oleh Sangkala', bapak itu marah dan mengomel lalu pergi sambil bersungut sungut. "Dasar orang kaya buta hati"gerutu Sangkala' sambil menggeretakkan giginya memandang bapak itu dengan penuh kebencian. Orang orang terus saja berlalu lalang tanpa peduli pada dagangan Sangkala', yang masih menumpuk belum laku terjual. "Terompet pak..., terompet bu...".
Sangkala' coba menawarkan terompetnya pada bapak bapak dan ibu ibu yang lewat didekat jualannya, tapi tak satupun yang berminat pada apa yang dia tawarkan, ada yang memandangnya dengan biasa biasa saja, ada pula yang memandangnya lucu, dan bahkan ada yang memandang dengan jijik padanya. Sangkala' mengutuk kemiskinannya, kemiskinan yang membuatnya menjadi tersisih dari geliat kehidupan, kemiskinan yang membuatnya hanya menjadi penonton dan tak pernah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial sebagai subjek, dimana dirinya telah bosan selalu menjadi objek dari ritual sosial orang orang kaya yang mencari panggung kehidupan.Â
Sangkala' begitu kecewa pada pandangan orang orang yang memandang kemiskinan adalah buah dari kemalasan, tidak tahukah mereka di saat mereka sedang menikmati kemeriahan pesta pergantian tahun ini, ia dan banyak lagi teman temannya yang tergolong miskin masih berjibaku mengais rezeki yang mungkin saja masih ada yang tercecer, tidak tahukah mereka bagaimana Laongge ipar Sangkala' yang bekerja sebagai petugas kebersihan honorer, di subuh yang masih buta, disaat mereka mereka yang mengaku kaya itu masih terlelap dalam tidurnya yang pulas, Laongge dan kawan kawan sudah harus bekerja mengangkat sampah sampah mereka yang menggunung menyebar busuk dan kuman penyakit, dan di saat mereka mereka yang mengaku kaya itu sedang menikmati istirahat siangnya, Laongge dan kawan kawan baru akan membersihkan dirinya dari segala kotoran dan bau yang telah mereka bawa dari rumah rumah orang orang yang merasa kaya itu. Apakah itu semua yang disebut kemalasan?
Sangkala' mengepalkan tinjunya "Terkutuklah kalian.... wahai orang orang kaya yang sombong" Sangkala' menyumpah saking kesalnya. Tiba tiba Sangkala' dikejutkan oleh rengekan anak kecil yang merajuk minta dibelikan terompet, seorang ibu muda yang nampaknya dari golongan orang orang yang senasib dengan Sangkala', bersama tiga orang anaknya, mereka mencoba membuang kepenatan hidup mereka dengan ikut berbaur sejenak untuk menghilangkan tekanan kehidupan dengan ikut menikmati kemeriahan dari pesta tahun baru yang sengaja diselenggarakan oleh pemerintah kota. "Berapa satu terompetnya pak ?" tanya si ibu itu. "Sepuluh ribu saja" jawab Sangkala'.Â
Sang ibu itu termenung sejenak, uangnya hanya cukup untuk membeli satu terompet, dan ia yakin anaknya pasti akan menangis jika ada yang tidak dapat, ibu itu coba membujuk sang kakak agar mau mengalah dan berbagi terompet dengan adik adiknya, tapi sang kakak menggeleng tak mau. Sangkala' yang mengerti akan kondisi dilematis sang ibu, ia juga tahu bagaimana perasaan anak anak, dan pula demi segera lakunya jualannya, apalagi ia yakin bahwa jualannya pasti akan banyak yang tersisa tidak laku.Â
"Ini bu ambil tiga terompet untuk adik adik, bayar berapa saja" kata Sangkala' sambil menyodorkan terompet kepada masing masing bocah yang menyambutnya dengan senyuman gembira. "Ini uang saya cuma delapan belas ribu pak" kata si ibu ragu ragu ingin menolak terompet dari Sangkala'. "Yah sudah bu, uang delapan belas ribu itu juga rezeki" kata Sangkala' sambil menerima uang dari si ibu. "Makasih ya pak !!!.... ayo bilang terima kasih sama om" kata si ibu menyuruh anaknya untuk tahu dan belajar bersyukur dan berterima kasih atas setiap nikmat. Yah orang miskin itu begitu tahu diri dan mereka sangat menghargai pertolongan orang lain.Â
Belum jauh si ibu beranjak, muncul dua orang anak kecil yang kelihatannya berminat membeli terompet, tapi setelah menanyakan harganya, seorang anak rupanya urung membeli karena uangnya tidak cukup. "Berapa uang kamu dek" tanya Sangkala' kepada si anak, "Cuma tujuh ribu" jawab anak itu polos. "Yah sudah, lima ribu saja, yang dua ribunya buat kamu jajan" kata Sangkala' seraya memberikan terompet terbaik yang dipilihkannya kepada kedua orang anak itu, dan mereka menerimanya dengan senang hati dan segera berlari sambil berucap. "Terima kasih oommm....". Belum hilang senyum bahagia Sangkala' melihat kegembiraan anak anak itu, terdengar suara seorang bocah kecil yang merengek minta terompet.Â
Sangkala' lantas menoleh dan dilihatnya bocah kecil itu bersama dengan kedua orang tuanya dan seorang kakaknya yang kelihatannya mereka adalah orang berada, Sangkala' tersenyum berharap dagangannya akan dibeli, namun apa yang didengar oleh Sangkala', ibarat palu godam yang menghantam keras kepalanya dan membakar jiwanya. "Jangan beli itu.... itu penyakit, itu kotor, beli yang lain saja yah !!!" si bapak membujuk anaknya. Mendengar itu Sangkala' berusaha untuk tetap tegar, meski bathinnya merasa terkoyak, dibuangnya nafas pelan pelan sambil beristighfar.Â
Dendam Sangkala' pada orang kaya semakin dalam. Betapa tidak, Sangkala' merasa keterpurukannya ini adalah ulah mereka mereka yang mengaku kaya ini, yang sok peduli pada kemanusian, yang sok peduli pada kesehatan, yang menyebarkan isu isu berantai di media media sosial setiap menjelang tahun baru, tulisan yang mereka kemas seapik apiknya, yang isinya adalah jangan membeli terompet karena terompet itu kotor, mengandung kuman penyakit, sebelum dijual pembuat terompet pasti akan mengetes terompetnya, dan diujung terompet itu akan ada bekas air mulut pembuatnya, dan air mulut itu mengandung kuman, begitulah kampanye jangan membeli terompet, dan ini ditambah lagi dengan orang orang yang pada sok agamais yang sudah berkemampuan bermain sosial media yang mengkampanyekan kalau terompet adalah budaya yahudi, dan perbuatan bi'dah dengan segala macam argumennya, yang membuat orang orang seperti Sangkala' menangis kehilangan pembeli dari satu satunya harapan mereka mencari rezeki, yakni membuat dan menjual terompet.Â