Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pembentukan masyarakat yang berkualitas. Melalui pendidikan, kita dapat mengembangkan potensi individu, mempromosikan kesetaraan, dan menciptakan lingkungan yang inklusif. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pendidikan juga dapat mempengaruhi perkembangan pola pikir dan perilaku yang merugikan, misalnya toksisitas maskulinitas (toxic masculinity). Pada saat ini, kita akan menjelajahi bagaimana pendidikan berperan dalam mengatasi toxic masculinity dan memunculkan generasi upstander yang bertanggung jawab dalam membangun masa depan yang lebih baik.
  Banyak dari kita  berpikir bahwa toxic masculinity jarang terjadi, namun menurut saya lebih jarang ada orang yang membahas topik ini. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak orang menganggap itu hal yang biasa atau mungkin banyak orang yang kurang mengerti terkait praktik toxic masculinity. Contohnya, seperti dalam lingkungan keluarga yang menganggap laki laki tidak boleh menangis dan laki laki harus serba bisa melakukan semua hal. Pendidikan dapat berperan dalam mengurangi toxic masculinity dengan menerapkan kesetaraan gender.
  Selain itu, pendidikan juga memiliki peran untuk menciptakan generasi upstander agar dapat melawan praktik toxic masculinity, namun apa itu generasi upstander? dan bagaimana cara menciptakannya? Generasi upstander adalah generasi yang melihat dan berusaha untuk menghentikan aksi bullying yang sedang berlangsung, cara menciptakan generasi upstander itu tergantung dengan kondisi lingkungan keluarga, teman, sekolah, bahkan lingkungan rumah. Jadi, bagaimana kita  bersikap dan berperilaku kepada sesama cukup berpengaruh untuk menciptakan atau menghambat lahirnya generasi upstander. Di Indonesia, topik ini jarang untuk dibahas, baik dalam media massa atau secara langsung. Jadi, Pendidikan di Indonesia tidak berfokus untuk membahas praktik tersebut.
  Saya pun pernah mengalami secara langsung toxic masculinity, dan itu membuat saya cukup tertekan sebagai laki laki. Misalnya, saat saya takut pada serangga, bukan support yang saya dapatkan melainkan tekanan karena hal tersebut dinilai feminis. Harusnya, ini menjadi sebuah fokus bagi dunia pendidikan, karena jika hal tersebut terjadi kepada anak yang tidak siap maka akan mengalami depresi bahkan hingga bunuh diri. Menurut WHO, Data menunjukkan bahwa hampir 40% negara memiliki lebih dari 15 kematian akibat bunuh diri per 100.000 pria. Angka yang cukup besar untuk sebuah permasalahan yang jarang untuk dibahas. Penyebab kematian korban toxic masculinity lainnya karena banyak pria yang tidak memiliki teman sehingga banyak pria yang depresi karena tidak bisa bercerita ke orang lain, hal tersebut juga harus diperhatikan dunia pendidikan terutama di Indonesia, untuk mencegah kematian karena toxic masculinity.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H