Mohon tunggu...
Christy Panjaitan
Christy Panjaitan Mohon Tunggu... -

mahasiswa UMN

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kesempatan Kedua

16 Januari 2011   12:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:31 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                

Udara siang ini begitu menyengat. Matahari tampak sangat tidak bersahabat. Heun Nara sibuk mengipasi wajahnya sambil sesekali menggerutu.  “Ah, rasanya aku ingin minum air kelapa” gumamnya seorang diri.  Diliriknya pohon kelapa yang menjuntai dari balik rumahnya. Ia menelan ludah berkali-kali. Dibetulkannya posisi duduknya dari atas sofa belanda yang empuk itu. Matanya terpejam. Rasa malas menyergapnya secara telak. Belum lama bersantai, sayup-sayup terdengar derap langkah kaki dari luar rumah. Anak semata wayangnya Han Soon Hee, telah pulang dari sekolah.

            “Mama! Tidakkah kau dengar aku telah mengetuk pintu sedari tadi?” bulir-bulir keringat membasahi wajah Soon Hee. Sungguh geram gadis itu kepada ibunya.  Telah sekian lama Soon Hee mengetuk pintu, namun hanya semilir angin yang membalasnya. Akhirnya gadis itu harus memutar jalan dan masuk lewat pintu belakang rumahnya. Dan saat akhirnya ia berhasil masuk, hatinya panas melihat sang ibu hanya bermalas-malasan saja. Heun Nara membuka sebelah matanya dengan mimik tidak bersalah. “Ya, ya, maaf, mama tidak mendengarmu” jawabnya dengan santai. Soon Hee pun segera berlalu. Ia malas melanjutkan percakapan dengan ibunya itu.

Soon Hee bergegas ke dapur. Rasa malasnya sungguh sudah tak tertahankan. Namun alangkah kagetnya ia saat mendapati tak ada satupun lauk yang ada di meja makan itu. Kali ini emosinya benar benar tak terbendung lagi. Ia segera berlari mendatangi ibunya untuk melayangkan protes. Mendengar omelan anak gadisnya itu, kantuk Heun Nara hilang dalam sekejap. Ia memang lupa memasak hari ini. Dengan berat hati iapun segera melangkahkan kaki ke dapur.

Malam pun tiba. Namun rasa malas Heun Nara belum sepenuhnya sirna. Sebagai seorang Ibu, ia memang menyadari kesalahannya yang tidak lagi cekatan. Belakangan ini ia malas memasak, malas berbenah rumah, malas bangun dari tidurnya, dan yang lebih parah, ia mulai malas menjadi seorang wanita yang telah berkeluarga. Setelah beberapa lama tercenung, ia tampak tersadar akan sesuatu. Dengan segera, ia membuka-buka laci mejanya, sibuk mencari-cari sesuatu. Koin emas. Koin ajaib peninggalan nenek buyutnya yang telah disimpan selama berates tahun dan sekarang menjadi miliknya. Koin ajaib yang sebentar lagi akan merubah hidupnya. Senyumpun tersungging diwajahnya saat koin itu telah ditemukannya. Tak sabar ia menunggu esok hari, dimana ia akan menggunakan koin ajaib itu untuk sesuatu yang hebat.

Pagi pun datang menjelang. Heun Nara segera bangun dari tempat tidur dan bergegas ke dapur untuk memasak. Soon Hee tercengang melihatnya. Disangkanya sang ibu telah berubah kali ini. Seperti dulu lagi, menjadi seorang ibu yang bertanggung-jawab akan urusan rumah tangga. Ia pun segera makan dengan lahap dan bergegas pergi ke sekolah. Setelah anaknya pergi, Heun Nara secepat kilat menutup pintu rumah dan menuju sumur tua yang berada di belakang rumahnya. Jantungnya berdegup kencang membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Dikeluarkannya koin emas itu dari kantong bajunya. Ia memejamkan matanya dan mengucapkan permohonan-permohonannya. Bayangan-bayangan akan pekerjaan rumah yang membosankan terlintas dikepalanya. Sebentar lagi aku akan lepas dari semua itu, pikirnya lega. Lalu ia segera mengeluarkan koin emas itu dan mencemplungkannya kedalam sumur. Tiba-tiba, ia menjelma menjadi seorang pria berusia setengah baya. Heun Nara begitu kagetnya sehingga ia tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Tungkai kakinya terasa lemas. Ia pun jatuh terduduk diatas hamparan rumput yang kotor itu. Namun ia tak peduli lagi. Bukan ini yang ia mau. Namun segalanya telah terlambat. Iapun menangis sejadi-jadinya.

Matahari pagi datang. Sinarnya menyapu lembut kulit Heun Nara. Wanita itupun membuka matanya yang masih terasa sembab. Kepalanya terasa sakit sekali. Tersentuh olehnya sebotol sake yang telah kosong. Rambutnya yang panjang terurai segera menyadarkannya. Segalanya hanya mimpi!koin emas itu, perubahan-perubahan itu, semuanya hanya mimpi! Mungkin pengaruh sake yang ditenggaknya sejak semalam, ia tak mau peduli lagi. Luapan kegembiraan terpancar dari wajahnya. Ia masih sama seperti dulu. Dan sejak saat itu, Heun Nara berjanji pada dirinya sendiri untuk tahu bersyukur dan berusaha untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik hingga akhir hayatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun