Mohon tunggu...
Christovel Ramot
Christovel Ramot Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Publish Your Dream!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Your Life is Your Culture!

23 Juli 2013   16:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:09 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(Dalihan Na Tolu)

Jika tidak dimulai dari diri saya, maka siapa lagi?

Malam kemarin, di tengah macetnya jalan tol Jakarta-Cikampek, saya sempat berbincang ringan dengan dua orang teman. Ada topik menarik yang mulai dibicarakan ketika seorang menanyakan mengenai adat istiadat dalam pernikahan Batak. Dengan pengetahuan seadanya, saya menjelaskan mengenai hal tersebut. Yang menggelitik pikiran saya diakhir perbincangan topik tersebut, orang tersebut berkata, “Chris, mengapa tidak kamu pelajari adat Batak dengan serius? Kan, bisa menjadi bahan belajar bagus untuk generasi sekarang.”

Setiba di rumah, perkataan teman saya itu menjadi rema yang seakan ‘meledek’ benak dan menjadi perintah untuk menulis tulisan sederhana ini.

Nama saya Christovel Ramot, lahir dan besar di keluarga Batak dengan marga Aruan. Sejak kecil, banyak acara adat Batak seperti pernikahan, penempatan rumah baru, hingga penguburan jenazah, yang saya ikuti. Keikutsertaan saya di acara tersebut masih sebatas ‘setor muka’ ke keluarga atau kerabat yang mengadakannya, walau di waktu tertentu saya menikmati sekali jalannya acara.

Dari banyaknya acara adat Batak tersebut, saya kerap mendengar lagu “Alusi Au” didendangkan. Iseng untuk sekadar menikmati liriknya, saya menemukan sebuah kalimat di lagu tersebut yang bisa saya angkat menjadi topik yang cukup baik mengenai adat Batak. Kalimat tersebu berbunyi,”Hamoraon, hagabeon, hasangapon, ido di lului na deba” yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia menjadi “Kekayaan, Keturunan, Kehormatan, itulah yang dicari sebagian orang”.

Menilik dari kalimat tersebut, saya dibuat penasaran mengenai filsafat atau paling tidak makna yang terkandung di dalamnya. Ada dua sumber yang mungkin bisa menelaskan hal tersebut, pertama, Kamus Batak Toba – Indonesia keluaran TB Silalahi Center tahun cetakan keempat 2008. Kemudian, buku Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat keluaran T.M. Sihombing (Ompu ni Marhulalan) cetakan ketiga tahun 1989. Kedua buku tersebut menjadi sumber sederhana saya untuk menggali makna di balik kalimat tersebut.

Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon

Menjadipribadi yang diberkati Tuhan dengan kekayaan, keturunan, dan kehormatan, setidaknya ada di benak sebagian orang. Terlebih bagi orang Batak, ketiga hal tersebut telah tumbuh menjadi tujuan masa depan untuk mencapai kebahagiaan. Mengapa? Mungkin, karena ketiga hal itu adalah ‘firman’ yang erat kaitannya dengan filsafat nenek moyang orang Batak “Dalihan na tolu”, yaitu sebuah frasa yang mengatur tata krama dalam bersosialisasi dalam masyarakat Batak. Sederhananya, orang Batak percaya bahwa “Hamoraon, hagabeon, hasangapon” akan terwujud jika “Dalihan na tolu” benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan bersosial.

Situs Wikipedia mencatat “Dalihan na tolu” adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. “Dalihan na tolu” menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.Dalam adat Batak, “Dalihan na tolu” ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama.

Dalam Bahasa Batak, “Dalihan na tolu” berbunyi:


  1. Somba Marhulahula (Sembah atau hormat kepada keluarga istri).
  2. Elek Marboru (bersikap sayang atau mengayomi sekali wanita).
  3. Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada kerabat semarga).

Somba Marhulahula

Kalau mau ingin menjadi seseorang yang diberi ‘keturunan’ (hagabeon), hormat dan sembahlah kepada pihak yang dituankan (pihak yang dituankan dalam bahasa Batak disebut hula-hula). Bagi orang Batak petuah ini sudah mendarah-daging. Semua orang Batak mengakui petuah itu, karena sudah terbukti kenyataannya. Tetapi karena sekarang, orang Batak telah beragama (mayoritas memeluk Agama Kristen), tidak lagi menyembah pihak yang dituankan sama seperti masa nenek moyang dahulu. Sekarang ini “somba marhulahula” lebih ke arah menuruti perintah Tuhan yang kelima, yaitu “Hormatilah ayahmu dan ibumu,supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” . Itulah perintah Tuhan yang menjanjikan bahwa manusia akan panjang umur di dunia ketika dia melakukan itu (menuruti pihak yang dituankan, dalam hal ini bisa juga orang tua). Jadi yang dimaksud ‘keturunan’ (hagabeon) itulah yang menjadi utama bagi orang Batak.

Elek Marboru

Kalau mau ingin menjadi ‘kaya’ (hamoraon), bersikap lembutlah kepada pihak perempuan atau dalam bahasa Batak disebut ‘parboru’ (dalam hal ini saudara perempuan beserta suami dan anaknya atau bisa juga anak perempuan beserta suami dan anaknya). Artinya, jangan memperlakukan mereka seperti anak kecil, yang bisa diperintah seenaknya, dan memaksa mereka membantu tanpa melihat waktu dan tempat (situasi). Dan jangan perlakukan mereka dengan membentak-bentak atau kasar. Tidak bisa berlaku seperti itu, harus berkata lembut kepada mereka. Bersikaplah sopan dan halus bila ingin meminta bantuan kepada mereka. Dan bertutur kata lembut kepada mereka bila meminta sesuatu. Bila suatu saat mereka memohon sesuatu kepada kita tetapi tidak dapat kita penuhi, maka kita juga harus menjelaskan dengan baik alasan mengapa permohonan tersebut tidak dapat memenuhi, dan jangan sampai memupuskannya. Ada kesamaan dari frasa ini dengan Firman Tuhan yang tertulis di kitab suci, “Semua orang tua dihimbau jangan pernah membuat emosi (amarah) kepada anakmu”. Jadi, jika orang Batak (orang tua atau dalam hal ini pihak hula-hula) bersikap lembut (possitif) ke pihak perempuan (parboru), mereka pun akan mengingat untuk membalas sikap lembut tersebut. Inilah khiasan ‘kekayaan’ (hamoraon) atau menjadi ‘kaya’ yang dimaksud.

Manat Mardongan Tubu

Kalau ingin menjadi menjadi orang mulia (hasangapon), maka bersikap hati-hati (tidak sembarangan bertindak) kepada teman sejawat (semarga, saudara). Yang dimaksud hati-hati di sini, bertindaklah sesuai dengan tata krama atau lebih menghargai orang lain, termasuk cara memanggil orang tersebut (sapaan). Misalnya, panggillah ‘amang’ (bapak) untuk seseorang yang dilihat lebih tua seperti ayah kita. Memanggil ‘hahang’ (kakak) untuk seseorang yang lebih tua, memanggil ‘anggia’ (adik) untuk seseorang yang lebih muda. Jangan bertindak tidak sopan kepada orang yang lebih tua walaupun kamu memiliki kelimpahan materi yang lebih (jabatan). Jadi misalnya dalam sebuah pesta Batak biasanya ada pemberian ‘jambar’ (bagian berupa uang atau daging makanan yangditerima seseorang sesuai dengan statusnya dalam acara adat tertentu) tetapi kita melihat ada seseorang yang posisinya lebih tinggi dari kita (misalnya paman atau kakak kita) maka berikanlah itu untuk mereka sebagai tanda menghormati, walaupun posisi kita (kekerabatan atau marga) lebih dekat dengan orang yang mengadakan pesta. Jika seorang Batak menuruti “manat mardongan tubu” maka orang itu akan dianggap baik dan santun (mengerti adat istiadat) sehingga orang lain memandangnyamenjadi orang yang mulia (hasangapon).

Filsafat “Dalihan Na Tolu”

Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. (Sumber: Wikipedia)

Kesimpulan

Dengan sederhana “Dalihan na tolu” berbicara mengenai posisi seseorang di dalam masyarakat, yaitu ada kalanya dia menjadi figur yang memiliki posisi tinggi, di saat tertentu menjadi figur dengan posisi di bawah, dan menjadi sejawat dengan kerabat lain. Jadi, seorang Batak tanpa memandang jabatan, pekerjaan, marga, bahkan jenis kelaminnya, dia memiliki peran tertentu di dalam sebuah komunitas. Hal ini bermakna filosofis bahwa seorang manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan karena sesungguhnya dia bisa menjadi seorang tuan, hamba, dan teman.

Sumber:

Buku: Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat oleh T.M. Sihombing (Ompu ni Marhulalan) tahun 1989

Kamus Batak Toba – Indonesia oleh TB Silalahi Center tahun 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun