Baliho merupakan salah satu media penyampaian pesan kepada masyarakat luas. Isi dari baliho itu sendiri pun beragam. Mulai dari iklan produk, kampanye politik, promosi konser, dan masih banyak lagi. Penyampaian pesan melalui baliho ini cukup efektif karena langsung mencakup masyarakat luas. Setiap kota di Indonesia pasti terdapat baliho di jalanannya. Biasanya, baliho diletakkan di tempat yang strategis. Contohnya adalah seperti jalan raya yang banyak dilewati orang dan tempat umum yang banyak dilihat orang.
Yogyakarta, daerah yang terbilang cukup kecil dan sekarang dipadati dengan baliho – baliho besar. Berbagai tanggapan pun muncul mengenai keberadaan baliho – baliho tersebut. Sebagai pemilik media, pasti merasa untung, karena semakin banyak baliho yang dibuat, maka semakin banyak keuntungan yang mereka dapatkan. Namun, berbanding terbalik dengan masyarakat biasa yang tidak terlalu peduli dengan pesan – pesan yang ada di baliho. Mereka justru mengkritik banyaknya baliho yang ada di Yogyakarta. Mereka menganggap, baliho – baliho tersebut merusak pemandangan dan justru menjadi sampah visual.
Berikut penulis memberikan dua contoh baliho yang ada di Yogyakarta. Baliho pertama merupakan iklan dari restoran ‘Yamie Panda’ yang berada di Jalan Solo, dan baliho kedua merupakan baliho gudeg ‘Yu Djum’ di Jalan Kaliurang. Menurut penulis, teori yang cocok dalam menganalisis kedua baliho ini adalah teori pertimbangan sosial. Teori pertimbangan sosial sendiri berusaha menjelaskan bagaimana sebuah individu memproses informasi dan bagaimana seorang individu membentuk sikap terhadap pesan tersebut. Teori ini dipakai dengan tujuan untuk membantu kita dalam memproses informasi dari baliho tersebut.
Di dalam baliho pertama, tertulis ‘Berhenti mikirin lamanya bulan ini, ayo makan yamie!’. Hal ini menurut penulis masih bisa diterima oleh para audiens karena bahasanya yang tidak terlalu formal dan kalimatnya justru terkait dengan kehidupan audiens yang kadang resah karena bulan yang lama. Baliho kedua di dalamnya hanya menampakkan informasi terkait salah satu cabang dari produk tersebut, sehingga kurang berkaitan dengan kehidupan audiens yang melihat. Baliho pertama dapat menyalurkan pesan dengan baik, sedangkan baliho kedua kurang dapat menyalurkan pesan dengan baik.
Pada teori pertimbangan sosial, ada aspek desain visual. Pada baliho pertama, menggunakan gambar hewan panda yang sedang memakan mie. Hal tersebut termasuk cara yang bagus dalam mempersuasi audiens saat melihatnya. Dengan begitu, audiens yang melihatnya akan tertarik melihat baliho tersebut dan kemungkinan akan membeli produk tersebut. Di dalam baliho kedua, desain visual yang digunakan merupakan foto pemilik dari produk tersebut dan gambar produk, yaitu gudeg itu sendiri. Hal itu termasuk bagus untuk menampilkan produk tersebut, namun kurang memberikan efek ketertarikan sendiri ke audiens. Sehingga bisa saja audiens tidak tertarik untuk membeli produk tersebut.
Selain teori pertimbangan sosial, ada teori lain yang bisa menjadi patokan untuk menganalisis kedua baliho ini yaitu teori kampanye dan propaganda. Pada baliho pertama, terlihat sekali isi dari baliho tersebut termasuk ke dalam propaganda, karena isinya adalah untuk membentuk persepsi masyarakat yang melihatnya demi mencapai sebuah tujuan. Sedangkan baliho pertama bertujuan untuk membentuk sebuah sikap dari audiens. Pada baliho kedua, tidak tampak unsur yang berkaitan dengan teori kampanye dan propaganda. Baliho kedua hanya menampilkan informasi terkait dengan produk (alamat, nomor telepon), tidak menampilkan terkait dengan unsur kampanye atau propaganda untuk mengajak audiens.
Menurut penulis, baliho pertama lebih menarik untuk dilihat oleh audiens, karena desain visual yang menarik dan isi dari baliho yang ‘relate’ dengan kehidupan audiens. Sedangkan pada baliho kedua, hanya menampilkan beberapa informasi mengenai produk makanan tersebut. Tidak ada unsur mengajak atau propaganda kepada audiens.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI