Profesor. Sebuah gelar bagi seseorang yang mempunyai kedewasaan dalam segi perilaku, pengetahuan, dan tanggung jawab. Seseorang yang bisa bersikap beradab dan dipercayai untuk mengajarkan keberadaban dalam segala aspek manusiawi itu kepada orang lain.
Sekali lagi, sudah seharusnya lebih banyak orang yang harus mengetahui bahwa seseorang yang terpelajar tidak berarti mereka dapat menunjukkan aksi-aksi manusia yang paling baik atau paling rasional. Ini bukanlah berarti mereka orang-orang yang pasti buruk, tetapi kita tidak dapat berasumsi semua hal akan baik di tangan orang-orang seperti itu. Contohnya terdapat pada berita ini terkait dengan dua profesor yang masing-masing memegang ketidaktentuan akan yang lain.
Berita ini menunjukkan tudingan seorang mantan guru besar UNS, Hasan Fauzi, terhadap rektor UNS, Jamal Wibowo, bahwa terjadi korupsi sebanyak Rp 57 miliar olehnya. Secara keseluruhannya, berita ini menceritakan bagaimana gelar guru besar milik Hasan dicopot karena pelanggaran hukum, terutama PP nomor 94 tahun 2021 dan diberikan pasal 3 huruf E, pasal 3 huruf F, dan pasal 3 huruf A. Namun, setelah pencopotan gelar tersebut, Hasan malah menuding bahwa Jamal menutupi korupsi sebesar Rp 57 miliar.
Hasan sendiri beropini pencopotan gelar tersebut tidak ada pendasaran dan malah dilakukan karena ingin menutupi adanya korupsi oleh rektor UNS. "Patut diduga melanggar disiplin dan melakukan penyalahgunaan wewenang. Jika melanggar disiplin, disiplin yang mana?" ujarnya. Masalahnya, kini terjadi masalah tuduh-tuduhan antara kedua guru besar, di mana Jamal beropini bahwa Hasan menuding karena gelarnya dicopotkan. “Terkait pernyataan mantan Wakil Ketua MWA ada upaya Rektor UNS menutupi dugaan korupsi itu tidak mendasar,” katanya dikutip dari Antara, “Seluruh proses pembahasan program kerja dan anggaran sejak perencanaan penetapan atau pengesahan yang dituangkan dalam dokumen rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) UNS.” Dilanjutkan Jamal, dia ingin Hasan menerima sanksinya secara “hikmat, legawa, dan introspeksi diri.”
Hal yang paling mengecewakan dari berita ini adalah bagaimana ini menunjukkan bahwa kedewasaan Hasan sebagai profesor bisa dibilang kekanak-kanakan. Bisa dianggap kalau ini seperti seorang anak SD dan temannya sedang bermain-main, namakan A dan B, dan A bermain dengan tidak aman—mendorong, memukul, dan berkata-kata kasar kepada B. Tentunya, B itu melaporkan A ke guru-guru karena aksinya yang tidak ramah terhadap temannya. Namun, daripada A menerima sanksinya dan apa yang dia lakukan sebagai hal yang salah, dia malah menuduh bahwa B telah mencuri makanannya sebelum mereka bermain. Pastinya, tanpa ada bukti, A, yang tidak ramah, itu tidak bisa melakukan apapun terhadap B, dan akhirnya dia yang tetap diberikan sanksi. Kebodohan dalam hal kekanak-kanakan ini ternyata bisa terefleksikan di kehidupan orang dewasa, dalam bentuk berita ini.
Sejujurnya, profesor adalah suatu gelar yang seharusnya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kedewasaan, baik dari segi perilaku, dan dari segi pengetahuan. Mereka yang dipanggil profesor seharusnya sudah mengetahui lebih baik untuk menerima sanksi dari aksi dan perilaku mereka, serta melakukan introspeksi diri untuk memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan—tentunya, kalau mereka yang sudah benar bersalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H