Mohon tunggu...
Christopher Jaya
Christopher Jaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis ini lahir di akhir milenium, 26 April 1999. Berarti dirinya baru memanasi bangku SMA. Penulis ini tertarik menuliskan cerita, filosofi, pelajaran dan perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solusi untuk Permasalahan Infrastruktur Negara: Mari Ubah Diri!

5 Desember 2015   16:33 Diperbarui: 5 Desember 2015   16:33 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi, ini yang pertama kali saya pikirkan begitu mendengar kata infrastruktur, yang terbersit di benak saya adalah perjalanan saya tiap pagi kalo pergi ke sekolah. Dan karena lumayan umum, saya bisa merangkumnya menjadi satu kata: "Padat". Karena banyak mobil. (ya iyalah -_-)

Terus, masih urusan sekolah, saya juga langsung kepikiran soal perjalanan saya pulang sekolah. Oh, ya, tiap hari saya naik kendaraan umum, soalnya belum punya sim. Jadi masih harus dianter sama pak sopir angkot dengan tarif 5000 rupiah.

Selain kisah saya pergi-pulang sekolah, sebenarnya kehidupan saya pastinya tidak pernah terlepas dari yang namanya perkembangan infrastruktur kota. Kalau ada hujan, dan selokan mampet, pasti kaki saya kerendem lagi. Atau kurang lebarnya jalan menyebabkan saya telat karena harus menunggu truk sampai ke jalan utama. Padahal sebagian besar perjalanan itu melewati jalan sempit.

Tapi buat orangtua saya yang lebih produktif, perkembangan infrastruktur tentu saja amat sangat luar biasa berdampak pada aktivitas mereka sehari-hari, secara mereka ini aktif sekali di luar. Beberapa kali saya bersama bapak pernah berimajinasi soal adanya jalan layang, trem, kereta gantung, bahkan sampai kereta bawah tanah. Canggih banget tuh kalau nanti saya berpergiannya naik kereta cepat yang bersih dan adem. Ngerti kan maksudnya?

Tambahan lagi, infrastruktur di luar zona aktifitas saya juga punya peranan dalam kehidupan saya. Seperti dengan banjir di Jakarta (saya bukan penduduk Jakarta). Hubungannya simpel, begitu musim banjir tiba, maka mendadak kota saya membengkak penghuninya. Atau, sekali lagi, buat orang tua saya, begitu ada masalah logistik, ada barang-barang dagangan yang harusnya mereka bisa stok tapi tidak karena ketiadaan pengantaran barang (biasanya kalau ada longsor, masalah asap, dll)

Jadi, benar sekali apabila hidup ini saling berkaitan dengan perkembangan infrastruktur negara. Dan memang wajarnya kalau hal ini harusnya dipedulikan oleh semua pihak.

Adanya inovasi-inovasi baru serta teknologi-teknologi untuk menangani banjir, jalan macet, sampah menumpuk, tentu sangat didambakan. Maksudnya, siapa sih yang nggak mau kereta gantung jadi standar kota-kota besar? Atau truk sampah otomatis?

Sebenarnya, ada orang-orang yang mendedikasikan hidup untuk mewujudkan perkembangan infrastuktur kita. Tetapi kitanya sendiri tidak pernah sekalipun mengapresiasi. Parahnya, sebagai rakyat biasanya sih jauh lebih gampang menyalahkan pemerintah ketimbang membenahi diri sendiri.

Contoh yang paling kongkrit adalah waktu ada sterilisasi bantaran sungai. Bayangkan, sungai yang menjadi objek vital, penyelamat alat-alat elektronik dari kebanjiran, dihambat fungsinya karena adanya bangunan padat di sebelah kiri dan kanan sungai itu. Tambahan lagi, ada pihak-pihak lain yang tidak puas bila sungai hanya berisi air, jadi mereka isikan sampah. Begitu hujan gede tiba (yang biasanya udah kayak hari raya) air naik dan masuk ke rumah-rumah. Terus salahkan pemerintah karena nggak becus bangun sungai. Begitu sungai udah normal lagi, bekas-bekas banjir dibersihkan, dan mereka masih tinggal di situ. Orang-orang masih buang sampah. Banjir lagi. Salahkan pemerintah lagi. Begitu seterusnya sampe matahari terbit dari barat.

Contoh kongkrit kedua, bangunan di perbukitan. Jelas pohon-pohon disana harus ditebang dulu agar bisa dibangun rumah. Berita buruknya, pohon selain memberi oksigen juga menahan air di tanah. Jadi, begitu pohonnya menghilang, air hujan langsung mengeruk tanah. Beberapa saat kemudian, bangunan-bangunan yang tidak memikirkan pengairan langsung rubuh. Masih bagus cuma berdampak pada bangunannya. Jeleknya nih kalau sudah menutupi jalan. Itu jelas merusak infrastruktur.

Karena ada banyak, kita sebut saja satu-satu. Anarkisme. Korupsi. Iseng-iseng ABG (ngerusak telepon umum lah, tawuran lah). Tindakan-tindakan illegal (nyuri listrik dan air).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun