Pada setiap tanggal 7 September merupakan hari yang tak akan pernah dilupakan oleh kebanyakan orang di negri ini. Sosok yang sangat berpengaruh pada masa itu, Aktivis HAM sekaligus salah satu pendiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Munir Said Thalib tewas pada pada tanggal 7 September 2004 saat perjalanan menuju ke Belanda untuk melanjutkan S2 nya. Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Sampai saat ini kasus pembunuhan munir belum terselesaikan sampai ke akarnya, auktor intelektual yang sebagai dalang pembunuh munir belum terungkap.
Disisi lain, ada kasus serupa yaitu pembunuhan menggunakan racun, namun kali ini racun sianida. Pada tanggal 6 Januari 2016, Wayan Mirna Salihin, 27 tahun, meninggal dunia setelah meminum es kopi ala Vietnam di Olivier Café, Grand Indonesia. Meski sudah sampai berpuluh-puluh kali sidang dan memanggil banyak ahli pun kasus ini belum terselesaikan.
1. Tepat tanggal 7 September kemarin untuk mengenang kembali Alm.Munir (Aktivis HAM) beberapa media tidak begitu gencar dalam menyiarkan kasus Munir, malah sebaliknya media lebih gencar dalam menyiarkan kasus Mirna yang pada dasarnya Mirna ini hanya orang biasa.
Apakah kasus munir ini sudah basi? Apa media sudah capek untuk meliput kasus ini yang memang sudah susah dicari siapa dalangnya?
2. Kasus Munir dilatarbelakangi unsur politik yang melibatkan unsur negara, dimana pemikiran dan tindakan Munir membahayakan pemerintahan yang kotor. Oleh sebab itu Munir merupakan suatu ancaman bagi penguasa yang harus disingkirkan. Kasus Mirna merupakan murni kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, meski belum jelas apa motif pembunuhannya.
3. Dalam persidangan kasus Munir, terdapat hasil penyidikan berupa dokumen hasil pencarian fakta kasus Munir dari TPF (Tim Pencari Fakta). Menurut beberapa sumber, salah satunya Usman Hamid menyatakan bahwa di dalam dokumen tersebut terdapat nama dalang yang membunuh Munir namun hingga kini keberadaan dokumen tersebut  tidak jelas dimana bahkan pemerintah pun bungkam mengenai dokumen itu. Dalam persidangan kasus Mirna, belum menemui titik terang karena sidang masih berlangsung sampai saat ini.
Kasus pembunuhan Munir yang terus berlarut dan tidak kunjung tuntas selama 12 tahun menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia. Padahal saat masa kampanye Pilpres, Presiden Jokowi pernah berjanji akan mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus pembunuhan Munir dan hilangnya seniman Wiji Thukul. Upaya mengungkap kasus ini secara tuntas dan mengadili dalangnya bukan hanya akan menunjukkan keseriusan pemerintah. Namun, ini juga menjadi tolok ukur bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang melindungi HAM.
Hukum di Indonesia tumpul ke atas namun sangat tajam ke bawah. Artinya keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah dan bawah. Hukum di Indonesia ibarat lembah hitam yang tak mencerminkan keadilan, pengacara juri hakim jaksa masih ternilai dengan angka (uang). Hukum telah dikuasai oleh orang orang ber-uang, hukum dijadikan permainan untuk menjaga kekuasaan, ada uang kau dimenangkan, tidak ada uang you say goodbye.
Saya sangat prihatin dalam menganggapi kasus Munir dan Mirna karena pemerintah yang masih kurang jujur, terbuka dan konsisten dalam menyelesaikan berbagai kasus. Menurut pendapat saya, kasus apapun yang namanya persoalan harus segera diselesaikan dengan hukum yang jelas dan benar.
Kebiasaan di Indonesia adalah proses hukum yang sangat lama namun hasilnya tidak ada, hal ini menjadi kebiasaan baru di negri ini, suatu kasus menjadi persoalan yang tidak perlu diselesaikan, kalau ada uang, kasus pun lancar. HAHA!