Mohon tunggu...
Gaya Hidup

Budaya Angkring di Jakarta, Cocok atau Tidak?

27 April 2016   20:28 Diperbarui: 28 April 2016   00:46 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Yuk Nangkring! Bagi orang Jogja dan Jawa Tengah "ajakan" seperti itu sudah tidak asing lagi, ketika mendengar kata itu membuat mereka berfikir untuk pergi dan makan di Angkringan. Mungkin kalau di Solo istilah angkringan disebut HIK (Hidangan Istimewa ala Kampung)

Angkringan atau HIK merupakan tempat makan yang berada dipinggiran jalan yang pada umumnya secara lesehan. Hanya bermodal gerobak dorong, terpal dan lampu sederhana untuk mendirikian tempat makan tersebut. Makanan yang dijual berupa nasi kucing (sego kucing), nasi dibungkus daun pisang berukuran kecil yang di dalamnya terdapat orek tempe dan sambal ikan teri. Untuk lauknya tersedia langsung di depan mata biasanya terletak di nampan, ada gorengan, sate usus ayam, ceker ayam, sate telor puyuh, ati ampela, kripik, dan lain-lain. Minuman yang dijual pun bermacam-macam. Seperti teh, kopi, jeruk, dan wedang jahe.

Ciri khas lain dari angkringan yaitu biasanya di bagian kanan meja terdapat tungku pembakaran. Selain untuk memasak air, fungsinya juga bisa untuk memenuhi keinginan pembeli apabila ingin membakar sate usus, ceker dan lauk lainnya. Biasanya angkringan buka dari sore sampai dini hari.

Angkringan banyak tersebar di beberapa daerah, salah satunya Jakarta. Banyak angkringan terdapat disetiap sudut Ibukota, namun angkringan kini sudah kurang di minati, lebih banyak orang yang lebih memilih makan di mall atau tempat-tempat ternama lainnya. Mungkin karena angkringan terletak dipinggir jalan, lesehan pula seolah terlihat kotor yang membuat orang tidak mau makan di tempat itu, ditambah lagi orang Jakarta memiliki gengsi yang besar untuk makan dipinggir jalan karena tidak bisa pamer di sosmed. Angkringan kini hanya di minati oleh orang kelas menengah ke bawah.

Sebenarnya budaya "angkring" atau duduk santai sambil makan di angkringan memiliki beberapa hal positif;

Pertama, harganya yang relatif sangat murah. Harga makanan dan minuman sangat bersahabat, menu yang ditawarkannya pun tidak mengecewakan. Dengan membawa 10-15rb, dijamin perut kenyang.

Kedua, angkringan menciptakan suatu kerekatan sosial. Suasana seperti itulah yang disukai pembeli. Ada percakapan hangat antara penjualan dan pembeli, bukan mengenai harga makanan tapi mengenai kehidupan, pengalaman, dan lainnya. Selain itu, ada pula percakapan antar satu pembeli dengan lainnya. Mereka yang ada di angkringan seperti tidak ada sekat atau batasan satu sama lain, saling bercengkrama menciptakan keharmonisan dan kerekatan sosial. Selain itu ketika makan di angkringan ada suasana berbeda yang dirasakan, apalagi ketika "nangkring" bersama keluarga atau teman, pasti tawa dan canda akan terjadi di tempat itu.

Dari pembahasan diatas, mungkin untuk menerapkan budaya “angkring” di Jakarta harus lebih dimodifikasi lagi baik tempat, tampilan (packaging) dan cara penyajian di tempat angkringan tersebut agar sesuai dengan selera dan minat masyarakat Jakarta. Namun disisi lain tidak menghilangkan ke-khasan dari budaya “angkring” tersebut.

YUK NANGKRING!!!

Source:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Angkringan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun