(Posisi Regulasi Industri Migas dalam Prespektif kepentingan masyarakat lokal)
Oleh : Christofel Sanu*
Sudah menjadi realitas sosial-ekonomi bahwa telah cukup lama sejak Republik Indonesia Merdeka bahkan sebelum merdeka, bahwa industri Migas selalu orientasinya ke pusat baik dalam pengaturan / regulalisasinya ataupun pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya.
Pada awal Republik Indonesia lahir sampai dengan sebelum lahirnya Undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi berseiring dengan euforia otonomi daerah, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya migas selalu menjadi otoritas kewenangan pusat baik dari segi pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatannya.
Argumentasi utama yang menjadi landasan pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan tersebut adalah berinduk pada ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang pada intinya menegaskan bahwa seluruh kekayaan (sumberdaya) alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dasar ini menjadi ligitimasi bahwa penguasaan oleh negara (yang ditafsirkan sebagai pengawasan oleh pemerintah pusat) pada dasarnya adalah pemerintah pusatlah nantinya yang memiliki wewenang dan akan mendistribusikan kemanfaatan tersebut ke daerah-daerah. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa bentuk negara RI adalah suatu negara kesatuan, sehingga policy atau kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam yang strategis dan potensial harus dikuasai dan diatur pengelolaan dan pemanfaatannya oleh Pemerintah Pusat.
Pada tataran konseptual strategi tersebut cukup masuk akal karena untuk mengurangi adanya kesenjangan antara daerah-daerah yang secara potensial memiliki sumberdaya alam yang melimpah dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan politik.
Namun dalam realitasnya ada kekayaan alam yang cukup melimpah dimasa lalu bagi daerah yang menjadi wilayah penambangan (yang memiliki potensi) ternyata masih kurang dapat menikmati hasil-hasilnya apalagi daerah-daerah yang bukan merupakan penghasil tambang. Karena itu selalu muncul pertanyaan yang mendasar kemana larinya harta kekayaan sumberdaya alam tersebut, karena ke wilayah daerah penambangan manfaat tersebut tidak mengucur dan apalagi ke wilayah daerah di luar wilayah penambangan malah lebih tidak menetes.
Ada kesan dimasa lalu rakyat di wilayah pertambangan migas tetap miskin sementara para pekerja disektor pertambangan migas hidup secara eksklusif dengan segala kemewahannya, setidaknya ada dua komunitas kehidupan ekonomi yang berbeda dan bertolak belakang bahkan sampai menyangkut pola hidup dan budaya komunitas masyarakat tambang yang berbeda dengan pola hidup dan budaya masyarakat lokal. Suka atau tidak suka gambaran realitas seperti yang dikemukakan tersebut nyata keberadaannya di dunia masyarakat pertambangan khususnya untuk minyak dan gas bumi.