Mohon tunggu...
Klemens ChristhoperArchad
Klemens ChristhoperArchad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa biasa yang minat pada politik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kesehatan Mental dan Hubungannya dengan Budaya Jepang Melalui Fenomena Hikikomori

16 Agustus 2023   12:03 Diperbarui: 16 Agustus 2023   12:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Culture-bound syndromes

Melalui budaya suatu populasi masyarakat yang berbeda-beda memiliki cara yang berbeda-beda pula dalam membangun dan mengakui ancaman kesehatan mental dengan mengkomunikasikan sebab-akibat, metode koping, dan bagaimana mekanisme mencari bantun (DSM-5). Perkembangan budaya di zaman ini juga berpengaruh pada tekanan emosional seseorang yang juga dapat mendorong pada kondisi distress (Ventriglio et al., 2016). CBS atau yang disebut sebagai culture-bound syndromes merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai pengalaman ataupun perilaku yang menimbulkan gangguan sebagai bagian dari pola penyimpangan lokal.

Hubungan budaya dan kesehatan mental

Budaya dapat mempengaruhi pandangan individu terhadap suatu masalah, tidak terkecuali masalah kesehatan mental. Perbedaan budaya juga memengaruhi perbedaan pandangan masyarakat terhadap suatu isu kesehatan mental dan hal itu juga berimbas pada anggapan tentang tingkat keparahannya dan juga cara penanganannya (Novianty & Cuwandayani, 2018). Umumnya, pada daerah dengan budaya yang lebih modern seperti pada negara maju, permasalahan kesehatan mental dianggap sebagai hal yang lumrah dan kesadaran mereka untuk mendapatkan penanganan profesional juga cukup tinggi. Sedangkan, pada daerah yang berbudaya tradisional, isu kesehatan mental terkadang masih dipandang sebagai hal yang tabu dan, tidak biasa. Sehingga, hal ini menyebabkan kesadaran untuk mendapatkan penanganan profesional menjadi rendah karena permasalahan ini dianggap sebagai aib dan mereka akan lebih percaya pada pengobatan alternatif.

Misalnya, pada negara Jepang yang memiliki budaya kehidupan yang sangat kompetitif. Masyarakat di sana memiliki tuntutan pendidikan dan kemampuan pekerjaan yang tinggi. Oleh karena itu, banyak keluarga yang jarang berkomunikasi dengan satu sama lain karena telah memiliki kesibukannya masing-masing. Umumnya, ketika anak bangun pagi, orang tua mereka telah berangkat bekerja dan ketika pulang sekolah pun mereka tidak sempat bertemu karena sepulang sekolah ia harus mengikuti bimbingan belajar atau juku. Interaksi dalam keluarga umumnya sangat minim dan anak-anak biasanya memilih untuk menghabiskan waktunya sendiri dengan membaca manga atau dengan menonton anime. Kebiasaan ini tentunya dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang, terutama pada anak-anak yang akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi yang dikenal sangat sulit dan kompetitif di Jepang. Ketika menghadapi suatu kegagalan, hal ini juga beresiko pada kondisi kesehatan mental seseorang. Hal-hal tersebut menjadi alasan dibalik munculnya fenomena penarikan diri dari lingkungan sosial, atau yang dikenal sebagai Hikikomori yang umumnya terjadi pada remaja usia 15 hingga 25 tahun di Jepang (Arina, 2018).

Hikikomori

Hikikomori adalah gabungan dari dua kata yaitu “hiku” yang berarti ‘untuk menarik kembali’ dan [komoru] yang berarti ‘mengasingkan diri’. Seperti yang kita ketahui bahwa Jepang merupakan negara yang berakar kolektivis sehingga memudahkan masyarakat untuk membentuk kelompok. Namun apabila ada seseorang menarik diri maka masyarakat menjadi beranggapan bahwa orang tersebut menarik diri ke dalam pengasingan. Maka dapat disimpulkan bahwa individu yang menarik diri dari kelompok seperti sekolah, tempat kerja selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan, menghabiskan sebagian besar hari mereka di dalam rumah bahkan dalam kamar mereka sendiri tanpa ingin bertemu dengan orang lain disebut dengan Hikikomori.

Pada beberapa penelitian, Hikikomori dikaitkan dengan pola perilaku yang avoidant dan terdapat kemungkinan mereka mengalami loneliness. Hal itu juga disebabkan oleh rendahnya self-esteem yang dapat dikaitkan dengan demotivasi, sehingga mereka memilih untuk menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial. Jepang juga memiliki kultur amae yang kuat, yakni ketergantungan terhadap suatu hal maupun seseorang. Dalam kasus ini, ketergantungan pada orang tua. Dalam budaya Jepang, amae mempengaruhi seseorang untuk bisa tinggal lebih lama bersama dengan orang tua dan hal tersebut adalah hal yang wajar. Hal ini yang kemudian akan menimbulkan rasa ketergantungan yang berlebihan pada orang tua dan menyebabkan tidak adanya rasa untuk melepaskan diri. Selain itu, kemajuan teknologi di Jepang memudahkan seseorang untuk melakukan berbagai hal tidak secara langsung atau face-to-face sehingga banyak individu yang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya sendiri di dunia virtual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun