Kronologi
Pada agustus 2004, Pulau Rempang, yang terletak di Kepulauan Riau, telah disetujui untuk dikembangkan sebagai kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata, termasuk dalam Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Pengembangan ini ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), yang berarti proyek ini memiliki prioritas tinggi dalam pembangunan nasional.
Namun, pengembangan tersebut tidak luput dari kontroversi, terutama terkait dengan nasib masyarakat adat yang telah lama mendiami pulau tersebut. Pemerintah menganggap bahwa masyarakat Rempang tidak memiliki hak legal atas tanah yang mereka tempati karena ketidakadaan sertifikat resmi.
“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.
Di sisi lain, ada pandangan berbeda yang menyoroti sejarah panjang keberadaan masyarakat adat di Pulau Rempang. Kelompok-kelompok adat seperti Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya telah menempati pulau ini selama lebih dari 200 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tanah di Pulau Rempang dianggap sebagai milik masyarakat adat secara turun-temurun, meskipun tanpa sertifikat formal.
Perbedaan pendapat ini menciptakan ketegangan antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat adat. Beragam pendekatan pun dilakukan oleh pemerintah untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Terjadinya kasus rempang pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemko Batam. Walikota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Ismeth Abdullah ketika itu menjabat penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemko Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.
Berikut Linimasa singkat dan bukti investasi yang dilakukan oleh PT MEG ( Mega Elok Graha ) terkait kronologi yang terjadi pada tanah rempang :
Bagaimana yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang hukum?
Hukum Tanah Adat Pada UUD Nomor 5 Tahun 1960
Tanah adat telah lama diakui dalam masyarakat adat Indonesia, hal ini memiliki landasan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Undang-undang ini merupakan dasar bagi pengaturan tanah di Indonesia dan menjelaskan tentang konversi hak tanah adat ke dalam sistem hukum nasional. Dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dijelaskan bahwa tanah adat yang belum didaftarkan harus melalui proses konversi agar memperoleh status hukum yang sah.
Proses konversi ini melibatkan Panitia Pendaftaran Ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional. Tanah adat yang memiliki bukti tertulis atau tidak tertulis, dapat ditegaskan haknya melalui penegasan atau pengakuan hak. Pengajuan ini memerlukan berbagai dokumen pendukung, seperti bukti surat hak, keterangan kepala desa, dan tanda bukti kewarganegaraan.
Namun, salah satu prinsip penting dalam UUPA 1960 adalah bahwa negara tidak memiliki tanah, melainkan menguasai bumi, air, dan ruang angkasa atas nama rakyat Indonesia. Hal ini berarti negara memiliki wewenang untuk mengatur peruntukan, penggunaan, dan hubungan hukum terkait tanah, namun kepemilikan tanah tetap ada pada rakyat. Pandangan ini menegaskan bahwa negara hanya berperan sebagai pemegang kuasa, bukan sebagai pemilik tanah, berbeda dengan konsep domein verklaring yang berlaku di masa kolonial.
Dalam konteks Pulau Rempang, pemerintah diberi hak untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan yang ingin mengembangkan wilayah tersebut. Namun, masalah muncul ketika masyarakat adat yang telah lama tinggal di tanah tersebut tidak segera mengajukan proses konversi tanah adat tersebut sehingga menimbulkan pertentangan hak antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat adat.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 Pasal 2
Pada Pasal ini menjelaskan bahwa walaupun tanah yang ada di indonesia dikuasai oleh negara artinya negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi rakyat Indonesia diberi wewenang untuk: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Juga, Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Serta; Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dalam Penjelasan UUPA 1960 dipertegas bahwa perkataan ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki”. Jadi, berdasarkan Konstitusi, negara tidak memiliki tanah. Negara Republik Indonesia menolak alam pikir raja Nusantara dan asas domein verklaring buatan penjajah Belanda. Dalam UUPA 1960 Penjelasan Umum II angka (2) dinyatakan, ”asas domein” yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru. Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara merdeka dan modern.
Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Kompleksitas Hukum di Batam
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti kepemilikan yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agraria.
Menurut Yamin Lubis dan Rahim Lubis, apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikatnya secara sah atas nama orang atau bidang hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut, tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepada kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat. Tentu dalam hal ini Sertifikat Hak Milik (SHM) memiliki kekuatan hukum yang kuat.
Dalam hal ini, sebenarnya masyarakat yang ingin memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah dapat mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), salah satunya saat ini dapat melalui aplikasi "Sentuh Tanahku". Proses ini melibatkan pengumpulan sejumlah dokumen, termasuk surat permohonan pengukuran, keputusan BP Batam, dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Namun, terdapat ketidakpastian mengenai status SHM di wilayah Batam, khususnya karena banyak tanah di sana berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
BPN Batam menegaskan bahwa 14.571 sertifikat SHM yang dikeluarkan sah secara hukum berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998. Namun, Wali Kota Batam menyatakan bahwa SHM tidak boleh diberikan di atas lahan yang berstatus HPL, dan hanya bisa diberikan jika HPL tersebut dicabut terlebih dahulu.
Permasalahan di Pulau Rempang semakin rumit karena hak atas tanah telah diberikan kepada berbagai pihak selama bertahun-tahun. Pada awal 2000-an, hak guna tanah Pulau Rempang telah diberikan kepada sebuah perusahaan untuk tujuan pengembangan. Namun, hal ini tidak digunakan selama beberapa tahun, sehingga pada 2004 tanah tersebut dialokasikan kembali kepada masyarakat setempat.
Ketika investor baru datang pada 2022, situasi menjadi lebih kompleks karena tanah yang seharusnya digunakan untuk proyek sudah ditempati oleh masyarakat. Mahfud MD, Menko Polhukam, menegaskan bahwa kesalahan administrasi terjadi, di mana tanah yang sudah sah diberikan kepada perusahaan pada 2001-2002 kembali dialokasikan tanpa disadari oleh pihak berwenang. Hal ini menyebabkan tumpang tindih hak atas tanah dan ketidakpastian bagi masyarakat dan investor.
Lantas siapa sebenarnya yang berhak atas tanah Rempang?
Mengacu pada Pasal 3 UUPA, disebutkan bahwa tanah ulayat akan tetap diakui oleh negara selama keberadaannya tidak melanggar undang-undang dan kepentingan nasional. Jika keberadaan tanah ulayat bertentangan dengan kepentingan nasional, hak atas tanah tersebut bisa diambil alih oleh negara. Maka dalam konteks ini walaupun jika masyarakat telah mengkonversi tanah adat mereka sesuai PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tetap masih dapat dibatalkan oleh kepentingan yang lebih tinggi, dalam ini Proyek Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Namun disini terlihat ketidakhadiran pemerintah dalam persoalan tersebut. Dimana peran pemerintah dalam hal ini khususnya Otorita Batam memberikan edukasi mengenai hal tersebut. Dimana kelalaian pemerintah tersebut sebagaimana yang telah dirangkum dalam kajian Ombudsman RI perihal 4 pelanggaran yang terjadi dalam kasus Rempang Eco City ini yakni,
Tidak adanya pengakuan keberadaan secara sah dan legal Kampung Tua di pulau Rempang, serta tidak optimalnya penetapan batas dan penerbitan sertipikat atas tanah bagi masyarakat setempat.
Mengenai status wilayah, tanah dan pengelolaan lahan belum diterbitkan sertifikat hak pengelolaan atas nama BP Batam, sedangkan SK Pemberian Hak Pengelolaan (HPL) sampai kini masih dalam proses perpanjangan.
Penetapan Rempang Eco-City sebagai PSN terjadi dalam waktu relatif singkat, rentang Mei-Juli 2023 yang menunjukkan bahwa percepatan pengembangan kawasan itu, tidak didukung dengan persiapan yang matang. Mulai dari segi regulasi, kebijakan, ketersediaan lahan yang clear and clean maupun kesiapan masyarakat sehingga muncul penolakan dan konflik.
Penanganan dampak proyek PSN yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, telah menimbulkan rasa takut, rasa tidak aman dan berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian atau pemerintah secara keseluruhan.
Pengembangan Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional tentu membawa potensi ekonomi yang besar. Namun, penting untuk memastikan bahwa masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah ini tidak hanya diperlakukan sebagai penghalang pembangunan, tetapi juga sebagai bagian dari solusi yang adil dan berkelanjutan. Pendekatan yang mempertimbangkan hak-hak adat, kompensasi yang layak, dan relokasi yang manusiawi harus terus diupayakan untuk menghindari konflik berkepanjangan dan meminimalisir dampak negatif bagi masyarakat setempat.
Apa Solusi yang pemerintah berikan kepada masyarakat ?
Pemerintah menawarkan beragam bentuk kompensasi kepada warga Rempang yang terdampak pada proyek pembangunan, seperti uang tunai sebesar 1,2 juta per orang untuk uang tunggu , tanah pengganti sebesar 500 meter persegi dan rumah tipe 45 yang sudah memiliki sertifikat .
Pemerintah juga memberikan hak pengelolaan tanah (HPL) kepada masyarakat, yang memberikan hak kepada warga untuk mengelola tanah tersebut secara legal. Selain itu, pemerintah berjanji untuk menyerahkan kembali sertifikat tanah kepada masyarakat yang terdampak, sambil memastikan bahwa proses relokasi dan pembangunan di kawasan tersebut berjalan dengan pengawasan yang ketat.
Namun, banyak warga yang merasa nilai kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami, terutama terkait nilai emosional dan sosial atas tanah leluhur mereka. Ketidakpuasan ini memicu berbagai protes dan tuntutan agar pemerintah memberikan kompensasi yang lebih adil dan juga transparan. Sebelumnya , pemerintah telah merelokasikan mereka ke kampung tanjung banun si atas lahan seluas 150 hektar
Sumber :
https://gokepri.com/riwayat-panjang-perjanjian-pulau-rempang/
https://batampos.jawapos.com/berita/2424616734/syarat-dan-panduan-pendaftaran-tanah-pertama-kali
https://www.antaranews.com/berita/3718296/menkopolhukam-jelaskan-status-tanah-di-pulau-rempang
https://gokepri.com/infografis-linimasa-dan-jejak-pengembangan-rempang/
https://batampos.co.id/2017/04/07/ada-14-571-sertifikat-hak-milik-tanah-batam/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H