Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, baik yang melibatkan guru atau siswa, masih menjadi PR serius dalam dunia pendidikan Indonesia. Kasus tawuran, perundungan, hingga intoleransi dan kekerasan seksual masih menghantui para siswa baik di tingkat dasar maupun menengah.
Seorang pelajar di Kota Depok berinsial CSP (15) meninggal dunia dalam insiden tawuran yang terjadi pada Rabu (7/2/2024). Nyawanya melayang di tangan MZB (16) yang juga berstatus sebagai pelajar. Kepada kepolisian, MZB mengaku melakukan tawuran untuk menaikkan nama sekolah.[1]
Bukan hanya terjadi antar siswa, kekerasan bahkan melibatkan alumnus sekolah, seperti baru-baru ini yang viral di media sosial. Dalam video yang beredar, terlihat seorang siswi di Tangerang Selatan dipukul dan didorong hingga terjatuh ke tempat sampah. Terduga pelaku merupakan alumnus dari sekolah yang sama dengan korban.[2]
Lebih miris, kekerasan di lingkungan sekolah juga melibatkan guru bahkan kepala sekolah. Seorang kepala SDN di Sampang, Madura, berinsisial MF (57) ditahan usai menjadi tersangka pelecehan terhadap guru, Rabu (7/2/2024).[3] Sebelumnya pada akhir 2023, seorang guru di Gresik tega menganiaya dua muridnya gara-gara bermain petasan.[4]
Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kejadian kekerasan di lingkup pendidikan di Indonesia, baik yang terjadi antar siswa, antar guru, antar siswa-guru, bahkan antara siswa atau guru dengan wali murid. Mirisnya, kasus kekerasan di lingkungan sekolah dilaporkan meningkat pada 2023.
Yayasan Cahaya Guru mencatat, terdapat 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 1 Januari hingga 10 Desember 2023. Data tersebut dihimpun dari pemberitaan media massa. Total pelaku mencapai 134 orang. Sementara, korban berjumlah 339 orang di mana 19 di antaranya meninggal dunia.[5] Diprakirakan, kasus yang terjadi jauh lebih banyak, layaknya fenomena gunung es.
Tingginya angka kekerasan di sekolah menunjukkan masih adanya belenggu yang tidak memerdekakan siswa. Padahal, Ki Hadjar Dewantara (KHD) menekankan pentingnya pendidikan merdeka yang memberikan kesempatan setiap individu untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Pendidikan juga seyogyanya membebaskan pikiran dan membentuk karakter yang bermoral. Tujuan tersebut tidak dapat terwujud jika kekerasan masih masif di lingkungan sekolah.Â
Dalam kebanyakan kasus, anak-anak yang mendapat kekerasan lebih menderita secara mental dan mengalami penurunan fungsi otak di bagian tertentu. Anak yang mendapat kekerasan lebih mungkin melakukan tindakan negatif, seperti tingkat agresi yang tinggi, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, putus sekolah, dan terlibat hubungan seksual berisiko tinggi.[6] Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya-upaya untuk menanggulangi kekerasan di lingkungan pendidikan.
Filosofi pendidikan KHD memberikan basis yang kuat untuk menangani permasalahan tersebut. Setidaknya, ada 5 gagasan KHD yang dapat menekan kekerasan dalam dunia pendidikan yakni sistem among, nilai budaya luhur, kodrat alam, kodrat zaman, dan budi pekerti. Sistem among menekankan hubungan yang harmonis antara guru atau pamong dengan siswa atau peserta didik. Sistem among fokus pada membangun lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Implementasi sistem among pada konteks kekerasan di sekolah dapat dilakukan di antaranya lewat pelatihan dan pembinaan dalam mengenal, mencegah, dan menanggulangi kekerasan. Selain itu, pihak sekolah diharapkan menyediakan layanan konseling untuk mengatasi masalah emosional siswa yang berpotensi memicu perilaku kekerasan.