Mohon tunggu...
Christina Wiwit
Christina Wiwit Mohon Tunggu... Guru - Seorang wanita biasa yang mencoba menjadi kuat

Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangis Wakung

12 Maret 2020   17:23 Diperbarui: 12 Maret 2020   17:21 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah seorang wanita yang sudah bersuami dan punya dua anak, perempuan dan laki-laki, kata orang sempurna sudah. Setiap hari aku harus menempuh jarak 12 km lebih untuk sampai ke tempat kerjaku. 

Aku menerobos kepadatan lalu lintas bersama kedua anakku, yang nomor satu SMP dan yang nomor dua TK B. Mereka kubawa sekalian karena sekolah mereka dan tempat kerjaku satu kompleks. Ya aku merupakan salah satu guru di yayasan yang sama dengan anakku bersekolah. Kami berangkat pagi pagi sekali dan pulang sore hari dimana anak-anakku mulai mengantuk, tak jarang mereka tertidur.

Banyak orang bilang aku wanita yang tangguh dan perkasa, namun sebenarnya tidak! Karena sesungguhnya ada yang lebih tangguh dan perkasa. Ya dia si wakung, yang tidak pernah mengeluh apalagi berontak. Wakung setia menanggung beban kami yang jika ditotal berat kami 180 kg. Padahal usia wakung sudah 15 tahun, itu usia yang sangat tua untuk wakung. 

Ya wakung adalah motor kesayangan kami, yang setia mengantar kemanapun kami pergi. Kami memberi nama dia wakung adalah sebuah motor "warisan kakung", warisan dari almarhum bapakku aku biasa memanggil dengan sebutan kakung dalam bahasa Indonesia kakek. 

Dengan setianya wakung mengantar kami, menerobos kepadatan lalu lintas, melewati hujan bahkan banjir, panas terik dia tetap melaju.

Pernah suatu ketika wakung sakit dan dia harus diopname untuk beberapa hari, kami sedih. Untung wakung segera membaik dan bisa mengantar kami kembali.

Maaf ya wakung aku tahu kamu pasti teriak-teriak, "Bebaskan aku... bebaskan aku dari tugas berat ini!" Sebenarnya akupun ingin bebaskan kamu tapi apa dayaku wakung, aku belum mampu. Sabar ya wakung suatu saat nanti kamu akan aku bebaskan dari bebanmu.

Tapi kalau kamu aku bebaskan, kamu akan bernafas lega atau justru kamu menangis ya wakung? Jangan-hangan kamu malah teriak "kenapa aku dipensiunkan...!" Apapun teriakanmu nanti yang terpenting saat ini wakung harus sehat terus dan menemani hari-hari kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun