Jadi, optimisme tersebut tak hanya salah tempat. Ia juga berbarengan dengan toksik dalam kultur sosial-politik di Indonesia.
Menurut Paul K. Gellert (2015), dalam dekade kedua setelah reformasi, ideologi Indonesia berubah dari Pancasila yang nasionalis menjadi ideologi "neo-liberal kosmopolitan yang bersandar pada nostalgia nasionalisme." Nah loh!.
Indonesia seakan bagai taman bermain, para pemuda dari kota- kota menengah atas datang ke desa- desa terpencil bak pahlawan yang mencerahkan kehidupan. Seakan merasa bahwa telah temukan solusi dan jadi solusi untuk keterpurukan bangsa. Tentu saja, tak ada yang salah dari hal itu. Namun, salah ketika hal itu dijadikan gebrakan yang solutif dari permasalahan struktural yang ada.
Tak menyadari bahwa sebenarnya permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan kolektif yang tidak dapat diselesaikan dengan kesaktian individu. Persoalan struktural harusnya diatasi dengan solusi struktural pula. Seperti yang ditulis Gellert "Individu dianggap sebagai kunci untuk menanggulangi berbagai permasalahan bangsa." Walaupun program seperti Indonesia mengajar ini sama seperti pola pikir di era Sukarno yaitu top-down, dimana mereka menggiring kaum tertinggal untuk membawa mereka ke ruang modern.
Justru dengan hal tersebut dianggap sebagai solusi, kita semakin denial terhadap akar sebenarnya dari permasalahan ini.
Penduduk desa pinggiran yang digusur demi tambang, dibabat hutannya, dan dikorupsi dana pendidikannya tidak dapat "diselamatkan" oleh asupan inspirasi dari pemuda kota modern ataupun lulusan luar negeri. Permasalahan struktural membutuhkan penyelesaian struktural pula, bukan sekadar kebolehan individual.
Rakyat di desa seolah- olah difasilitasi dengan hal- hal yang tak dapat mereka miliki dan rasakan selama ini, tetapi pernahkah kita menengok sebenarnya apa yang menjadi penyebab mengapa mereka tertinggal selama ini?.
"Nasionalisme berkobar kuat di kalangan muda, tetapi "hampa" dan "rendah mutunya." Apabila dahulu nasionalisme mengacu pada semangat kolektif untuk bersolidaritas dan bergerak bersama, kini nasionalisme berubah jadi pepesan kosong soal bagaimana kita mesti "berkontribusi bagi bangsa."
Kegiatan tersebut mungkin terlihat apik di media sosial dan mungkin begitu menginspirasi kaum muda lainnya. Tetapi, setelah mereka pulang dan kembali ke kota, kaum terpencil akan tetap kembali pada keterpurukan mereka.
Kota pun tidak dapat ditawarkan sebagai solusi ketika kota itu sendiri yang justru jadi sumber malapetakan bagi mereka
Keterpurukan kaum terbelakang tak dapat diselamatkan oleh anak muda menengah atas yang datang bak pahlawan dan mengatakan "Sukses di usia muda? Kenapa tidak?". Hal itu tidak akan jadi solusi jika anak muda menengah atas hingga anak konglomerat yang menginspirasi itu justru jadi penguat kekuasaan oligarki dengan branding "millenial berperan aktif".