Mohon tunggu...
Christina Putri Aroma Ndraha
Christina Putri Aroma Ndraha Mohon Tunggu... Lainnya - Long life learner and dreamer

an Undergraduate Law Student who has interest in writing, social movement, law issues, and education.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apakah Harus Membaca Ratusan Draft UU Cipta Kerja Dulu Baru boleh protes #mositidakpercaya ?

29 Oktober 2020   14:50 Diperbarui: 29 Oktober 2020   15:13 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ingat tidak, jika penyusunan peraturan yang cacat formil artinya secara materiil pun pasti cacat?

engga, bukannya ingin semakin memperkeruh keadaan terkait Undang- Undang Cipta Kerja dan memojokkan satu pihak. Tapi kalau hanya diam demi wujudkan ketenangan semu, juga buat apa? Setidaknya lakukan apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa. Ah, gamau bawa “kita” dulu deh. Ralat, setidaknya saya melakukan apa yang bisa saya lakukan melalui coretan tulisan ini.

Jika kita amati dari awal polemik ini muncul, tentu bukan tanpa sebab banyak dari kita yang menolak UU Cipta Kerja yang satu ini. Banyak kritik terhadap muatan isi Undang- Undang terkait dampaknya terhadap lingkungan, hak buruh ataupun pekerja. Namun, makin kesini kondisi di media sosial justru semakin riuh. Ada beberapa ulasan media yang ternyata tidak sesuai dengan draft yang ada, ada pula yang terus mengkoar- koarkan untuk membaca semua draft dulu baru bisa protes #mositidakpercaya, ada pula yang menganggap penolakan terhadap UU Cipta Kerja berlebihan. Tentu saja, hal itu tidak masalah karena memang setiap orang berhak punya pendapat.

Pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas terkait subtansi pada muatan isi Undang- Undang. Melainkan bagaimana kita melihat bahwa ada kejanggalan proses yang tentu saja akan berdampak pada isi muatannya. Jika prosesnya sudah cacat, bagaimana mungkin menghasilkan produk yang baik?

Berdasarkan data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), terjadi beberapa ketidak sesuaian prosedur. Bahkan Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK, Fajri Nursyamsi, menyatakan bahwa rencana DPR terkait UU Cipta Kerja ini melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga akan menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja. Meninjau dari proses yang ada, menurut saya ada beberapa kejanggalan dalam pembentukannya:

  1. Naskah Akademik yang dibuat setelah RUU, artinya RUU dibentuk tanpa kajian matang
  2. Pembahasan tingkat II pada 6 Oktober 2020 yang dilakukan tanpa adanya undangan rapat
  3. Pembahasan tingkat II tidak dihadiri oleh 257 Anggota Dewan
  4. Sidang penutup akan tetap dilaksanakan padal terdapat pergolakan di masyrakat pada 5 Oktober 2020
  5. Pimpinan sidang mematikan mikrofon anggota dewan anggota yang menolak Rancangan Undang- Undang.

Setidaknya ada tiga asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang tidak diindahkan dalam proses pembentukan RUU ini, yakni asas kejelasan rumusan, asas keterbukaan, dan asas kedayagunaan. Dalam hal ini cacat formil menjadi garda terdepan untuk menyatakan bahwa Rancangan Undang- Undang Omnibus Law itu cacat. Jadi sebenarnya, tanpa membaca 900 draft pun kita sudah bisa melihat kecacatan yang ada dalam RUU ini. Mereka yang menggunakan #mositidakpercaya, artinya mereka merasakan ketidakmasuk akalan aturan ini bahkan sejak pembentukannya. Terlebih kalau mau diuji, perihal hal formil akan sangat penting apalagi sampai ada fraksi yang walk out.

Konstitusional undang- undang tidak hanya dibaca lewat materi muatan, tetapi juga melalui cara- cara undang- undang terbentuk. Begitu pula untuk menganilisis itikad berikutnya. Disinilah pentingnya menolak undang- undang yang cacat prosedur. (sumber: Ittai- Bar-Siman-Tov, The Puzzling Resistance to Judicial Review of the Legislative Process, 2011)

Lagipula, kalau memang berdampak baik dan baik baik saja maka tidak mungkin akan menimbulkan keributan semacam ini. Dan kalau bicara soal dampak baik, tentu ada. Namun hal baik tidak akan menjadi tepat dan benar tanpa melihat realitas serta kesesuaian substansi terhadap kondisi di lapangan. Pun jangan lupa proses itu sangat penting, sebab proses yang cacat akan menghasilkan produk yang cacat pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun