Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun dan Peristiwa Pahit Masa Silamnya

25 September 2024   17:44 Diperbarui: 25 September 2024   20:42 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun.....
Gerimis, tanah becek, aroma hujan, payung hitam, dan pohon-pohon besar selalu saja membangkitkan kenangan masa silamnya, seperti foto-foto di album kenangan yang terbuka satu per satu tanpa diminta, kemudian merangkaikan cerita peristiwa itu dengan utuh. Embun akhirnya tersadar, hatinya masih terasa sakit tiap kali teringat peristiwa itu. Haruskah melupakan masa lalu untuk bisa memaafkan dengan tulus?

Embun masih mengayuh sepeda penjelajah waktunya, melewati satu detik di setiap detik. Pada saat-saat seperti itu, pikiran Embun berkelana entah ke mana, hingga waktu yang berlalu seolah mampu menghapus seluruh kenangan. Meskipun ia juga menyadari, bahwa waktu sejatinya bukanlah sesuatu yang berlalu, tetapi sebuah dimensi, arah pergerakan.

Ya, kenangan akan hujan, payung hitam, pohon-pohon besar dan air mata yang pernah tertahan, terus saja menyapa Embun bahkan saat ia sudah duduk di bangku SMA. Kenangan itu jelas selalu terbayang tiap kali musim hujan tiba, yang membuat mata indah Embun selalu berkaca-kaca dan nyeri senantiasa kembali terasa di hatinya. Tak jarang Embun tidak membawa pulang kembali payungnya dan meninggalkannya di sekolah. Mungkinkah sakit hatinya di masa lalu telah berubah menjadi dendam kesumat?

Akhirnya Embun memang harus jujur mengakui kegagalannya. Ia tak berhasil melupakan kenangan akan peristiwa pahit masa silamnya, meski telah bertahun-tahun ia tinggalkan di ruangan sepi tanpa nyawa. Atau hatinya telah salah memaknai peristiwa masa silamnya? Hingga kenangan pahit itu tidak menjadi sebuah anugerah dariNYA yang juga indah?

Dan waktu akhirnya benar-benar melesat secepat kedipan mata, seraya menyapu debu jalanan dengan sangat sempurna. Tanah yang becek itu akhirnya telah beraspal dan membuat wajah kampung Embun tak lagi sama. Hari itu hujan tidak datang dan payung hitam tak lagi di genggaman Embun. Kali ini Embun diminta ibunya untuk membeli sayuran di warung yang pernah menolaknya itu.

Perlahan-lahan Embun melangkahkan kakinya dengan hati bergetar. Ya, kenangan itu kembali datang dan album foto itu kembali terbuka. Napas Embun mendadak sesak dan nyeri di hatinya kembali terasa di langkah pertama. Tak mau percaya tetapi nyata terjadi. Embun yang telah bertransformasi menjadi gadis dewasa itu pun sesegera mungkin menghela dan mengendalikan perasaannya, dengan membangunkan ketenangan dan kesadaran dari kedalaman hatinya, untuk menerima perasaannya saat itu dengan lapang dada.

Embun bertemu pemilik warung saat senja mulai menghamparkan warna jingganya. Dengan sopan ia menyampaikan apa saja yang akan ia beli hari itu. Dan yang mengagetkan Embun, sang pemilik warung tampak begitu canggung. Apakah ingat akan peristiwa itu? Meskipun sudah sangat lama berlalu? Mungkinkah pemilik warung itu menyesal dengan perkataannya waktu itu? Embun segera tersenyum sesaat setelah ia menyadari sesuatu. Bila di posisi ibu warung itu, mungkin sesal itu memang akan terus terbawa sepanjang waktu, seperti luka di hatinya yang tak kunjung sembuh. Walaupun luka itu telah menjadi keropeng, tetapi selalu saja kembali basah oleh hujan masa lalu.

Embun segera memberikan senyum terindahnya, senyum yang menunjukkan lesung pipit di pipinya. Dan senyum itu ternyata tak hanya mencairkan suasana, tetapi juga menimbulkan kelegaan hati yang luar biasa. Tanpa kata dan tanpa kalimat panjang lebar, luka hati itu terasa mengering seketika, bahkan keropengnya pun terasa lepas sempurna, meski bekasnya tentu tak bisa terhapus, yang setiap saat bisa berpotensi membangkitkan kenangan itu kembali, dengan sangat detail dan tanpa kompromi. Seperti yang sudah-sudah, apakah akan membuat hatinya sakit kembali?

Semua telah lebur di dalam keikhlasan yang sempurna. Tentu saja itu adalah berkat dari Sang Pencipta, yang terkembang pada senyum keduanya. Dan di kamar sunyi usai dari pertemuan itu, akhirnya Embun mengucap syukur dengan sepenuh hatinya. Air mata yang pernah tertahan itu akhirnya mengalir dan menderas, tanpa hujan, tanah becek dan juga payung hitam. Ia yakin hatinya tentu tak akan lagi nyeri kala musim hujan datang. Bahkan, ia akan bisa membagikan ceritanya pada dunia dengan senyum terkembang. Kalau toh sampai menangis, pastilah bukan lagi tangis kesedihan, tetapi itu adalah tangis keharuan, tanda Tuhan hadir di dalam hatinya. Ia memang tak perlu menjadi hakim untuk mengadili yang benar dan yang salah. Embun sadar, yang ia perlukan hanya memahami perasaan sesamanya, dengan lebih jujur dan apa adanya.

Saat ini, Embun masih tersesat di alam pikirannya. Beruntung suara hatinya yang murni memanggilnya dan ia pun berhenti seketika dari penjelajahannya, tepat sang fajar sudah mulai merangkak naik, yang akan membuatnya menguap dengan sempurna. Ia tak harus meneruskan perjalanannya ke masa lalu, karena pintu masa lalu sebenarnya terkunci sangat rapat. Yang terpenting baginya adalah hari ini, yang pada momen saat ini, ia masih ada dan hidup, dengan masa depan yang akan dilalui. 

Ia akhirnya sadar, membentuk masa depan tentu jauh lebih mudah daripada mengubah masa lalu, dengan tekun belajar untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, agar mampu menghadapi tantangan dan peluang yang ada  di masa depan.

Embun akhirnya telah menguap dengan sempurna. Dari ketinggian nanti, ia akan melihat segala sudut pandang ke bawah dengan lebih leluasa, untuk menjadi lebih bijaksana di dalam mencermati setiap peristiwa di dalam hidup dan kehidupannya, sebagai bekalnya saat kembali menjadi embun pada esok pagi. Ternyata, ia memang benar-benar tak mampu melupakan peristiwa masa silamnya, karena itu adalah kenyataan yang tak mungkin terhapus begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun