Percaya diri dan keberanian Minuk di rumah memang tak perlu diragukan. Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kaki menuju sekolah, kecemasan dan ketakutan pun langsung menyergapnya tanpa permisi.
Meskipun label pemalas dan anak manja melekat padanya, tak sedikit pun Minuk membela diri. Apa saja yang dikerjakan memang selalu lamban atau lebih tepatnya tidak cekatan. Ia benar-benar tidak terampil dalam berbagai hal seperti teman-teman seusianya di kampung, kecuali bila ada sesuatu yang sangat ingin sekali ia kerjakan, tetiba dunianya menjadi terbalik dan ia pun dengan mudah menjadi sosok anak dengan label yang sebaliknya.
Setelah itu, ia tetap saja akan kembali menjadi Minuk dengan label yang telah melekat padanya "pemalas". Ya, Minuk memang pemalas. Namun, di dalam kemalasannya itu ternyata ia gemar sekali mengamati apa saja yang ada di sekitarnya dengan begitu detail.
Ibu menggandeng tangan Minuk menuju gerbang sekolah TK. Ini sudah kesekian kalinya Minuk bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah. Ibu memang berbaik hati mengantar Minuk ke sekolah hari itu, setelah melihat kecemasan dan ketakutan di wajah Minuk yang begitu menyedihkan.
Minuk memang enggan bangun pagi. Ia begitu kecewa karena setiap membuka mata selalu disambut oleh udara yang begitu dingin dan menembus selimut loreknya. Kekecewaan Minuk pun semakin sempurna melihat kakaknya sudah mandi dan bersiap pergi ke sekolah. "Pasti ini sudah siang", batin Minuk menggerutu sambil menarik selimut loreknya dan bergulung-gulung di dalamnya.Â
Dengan memicingkan mata dari tempat tidur karena silau oleh cahaya matahari yang mulai menerobos memasuki celah jendela kamar, Minuk pun menghela napas panjang dan segera bangkit, bersiap mandi dengan air hangat untuk berangkat ke sekolah.
Minuk memang tidak suka bangun pagi karena kedinginan dan ia juga tidak suka jam istirahat sekolah karena selalu mendapatkan penindasan dari teman-teman kecilnya. Ia selalu dikejar-kejar oleh beberapa teman laki-lakinya entah untuk apa. Dan Minuk sering kali bersembunyi di bawah meja penjual opak pecel di sekolahnya.
Meskipun Minuk masih menjadi anak yang pemalas, setidaknya Minuk sudah mulai memerangi kemalasannya ketika duduk ke kelas 2 SD, pada momen saat  ia mendapatkan figur yang menarik dari Bu Wondo, kepala sekolah baru Minuk yang cantik seperti ibunya, tegas dan juga disiplin.
Walaupun begitu, tidaklah mudah bagi Minuk membalikkan telapak tangannya. Ia masih begitu dekil karena belum bisa menjaga kebersihan diri dan tak pandai membersit hidung saat pilek. Dan Ibu selalu menggantungkan sapu tangan di baju seragamnya dengan peniti bila hidungnya sedang meler, agar tidak diusap dengan dasinya.
Sakit perut, sakit gigi dan pilek menjadi langganan Minuk. Sampai suatu hari Bu Wondo datang menjenguk ke rumah dan berbincang dengan Minuk secara pribadi. Bu Wondo yang selalu datang paling pagi di sekolah meskipun rumahnya paling jauh, telah membuka pikiran Minuk untuk bangkit dari kemalasan, apalagi ketika Bu Wondo menceritakan bagaimana mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.
Tetapi, tetap saja rambut Minuk masih berkutu dan ia terus menggaruk-garuk kepala di depan Bu Wondo. Meskipun Bu Wondo sepertinya mengetahuinya, beliau tampak tetap begitu sabar mengajar Minuk. Dan ada saja cara Bu Wondo membuat Minuk kembali fokus ketika mulai menggaruk-garuk kepalanya.