Begitu kumasuki ruang fantasiana itu
Tak kusangka kutemui diriku yang telah lalu
Terdengar begitu jelas suara memanggil namaku
Sebuah nama yang pernah kutinggalkan di masa lampau
Minuk... Minuk... Minuk...Bagai cermin tanpa kebeningan semu
Tampak begitu murninya diriku di waktu kecil itu
Sempurna dalam semua senyum
Ah... tetapi itu kini terlalu sempurna bagiku
Hingga hampir tak kukenali lagi sosok Minuk yang begitu lugu
Lincah dan periang begitulah aku yang dahulu
Meskipun sering memasang muka masam dengan membentuk pipi gembung
Tetapi selalu tampak menyenangkan bagi daun-daun
Yang berguguran oleh musim yang tak lagi menentu
Dan Minuk, selalu saja pandai menyimpan bahagia dalam sebentuk senyum
Minuk adalah nama pemberian bapakku
Yang tak tercatat dalam akta kelahiranku
Karena bapakku lebih memilih nama yang lain untukku
Sebuah nama yang hadir dari sebuah mimpi ibuku
Semalam sebelum hari kelahiranku
Baca juga: Ketika Daun Bertanya tentang Kebahagiaan
Kala itu angin pasat tenggara melemah sebelum Natal menyalakan lilinnya
Membiarkan kehangatan cinta menghilang begitu saja sebelum mencapai sisi barat Pasifik
Dan kembali ke Timur berada pada tempat yang tidak semestinya
Membuat gejala ekstrem osilasi selatan tampak begitu nyata
Seperti aku yang dahulu dan aku yang sekarang
Begitu berbedanya aku tanpa seulas senyum
Hingga aku hampir tak mengenali diriku yang dahulu
Jika saja cermin tak menunjukkannya padaku
Bisa jadi aku akan terus berada dalam buaian El Nino
Menghadapi kekeringan hati berkepanjangan tanpa setetes embun
Minuk adalah nama yang telah disiapkan oleh Bapakku
Pada suatu malam tatkala bulan begitu sempurna merayu
Saat itu kumasuki rahim ibuku dengan seulas senyum
Menyempurnakan indahnya pertemuan dari sebentuk rindu
Antara bapakku, ibuku dan aku
Dan begitu kumasuki ruang fantasiana itu
Tak kusangka aku telah menemui diriku yang telah lalu
Hingga membuatku membuka kembali catatan penting tentang sebentuk rindu
Pada sebuah musim yang penuh dengan cinta dan kasih tanpa pamrih sedikit pun
Dimulai dari senyum setetes embun yang dapat memulihkan segalanya
Bandungan, 15 September 2023
Tampak begitu murninya diriku di waktu kecil itu
Sempurna dalam semua senyum
Ah... tetapi itu kini terlalu sempurna bagiku
Hingga hampir tak kukenali lagi sosok Minuk yang begitu lugu
Meskipun sering memasang muka masam dengan membentuk pipi gembung
Tetapi selalu tampak menyenangkan bagi daun-daun
Yang berguguran oleh musim yang tak lagi menentu
Dan Minuk, selalu saja pandai menyimpan bahagia dalam sebentuk senyum
Yang tak tercatat dalam akta kelahiranku
Karena bapakku lebih memilih nama yang lain untukku
Sebuah nama yang hadir dari sebuah mimpi ibuku
Semalam sebelum hari kelahiranku
Membiarkan kehangatan cinta menghilang begitu saja sebelum mencapai sisi barat Pasifik
Dan kembali ke Timur berada pada tempat yang tidak semestinya
Membuat gejala ekstrem osilasi selatan tampak begitu nyata
Seperti aku yang dahulu dan aku yang sekarang
Hingga aku hampir tak mengenali diriku yang dahulu
Jika saja cermin tak menunjukkannya padaku
Bisa jadi aku akan terus berada dalam buaian El Nino
Menghadapi kekeringan hati berkepanjangan tanpa setetes embun
Pada suatu malam tatkala bulan begitu sempurna merayu
Saat itu kumasuki rahim ibuku dengan seulas senyum
Menyempurnakan indahnya pertemuan dari sebentuk rindu
Antara bapakku, ibuku dan aku
Tak kusangka aku telah menemui diriku yang telah lalu
Hingga membuatku membuka kembali catatan penting tentang sebentuk rindu
Pada sebuah musim yang penuh dengan cinta dan kasih tanpa pamrih sedikit pun
Dimulai dari senyum setetes embun yang dapat memulihkan segalanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H