Pesonanya memang layak kita sebut sebagai Wonderful Indonesia. Sebagai artefak yang nyata, Borobudur memang begitu memikat dan memesona. Borobudur adalah kesempurnaan sebuah maha karya seni yang abadi dan megah, tentang sebuah peradaban manusia.
Menurut laman Wikipedia Indonesia, Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Pada dinding candi di setiap tingkatan, kecuali pada teras-teras Arupadhatu, dipahatkan panel-panel bas-relief (jenis relief dengan ukiran yang sedikit menonjol dari dasar permukaan dinding), yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.Â
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia.
Bahkan menurut manuskrip yang tersimpan di sebuah vihara di kota Batu, tertulis bahwa Borobudur adalah teratai putih di tengah danau. Dan itu menunjukkan bahwa pada waktu itu Borobudur memang berwarna putih.
Dikatakan pula bahwa sang arsitek sendiri pada waktu itu harus berada di atas bukit Menoreh untuk melihat karyanya dan memastikan Borobudur benar-benar tampak laksana teratai putih besar di tengah danau.
Suatu hari dalam sebuah majalah lama, penulis menemukan sebuah foto yang diambil oleh Heru Setyo Ajie pada 7 Mei 2012 yang menampakkan Candi Borobudur di Jawa Tengah, berpendar oleh cahaya dalam perayaan Waisak umat Buddha. Dan Padma swargantara itu benar-benar tampak begitu indah dan menakjubkan.
Sejak hari itu, ada getaran dari dalam jiwa yang sulit diredam. Seperti ada suara yang memanggil, perlahan namun dapat membangkitkan rasa, hingga mampu menghamparkan lautan imajinasi tentang Borobudur.
Tak hanya merenung, dan juga tak sekadar berpikir yang mendalam, namun lebih jauh lagi, akhirnya penulis pun melompat masuk ke dalam kontemplasi tanpa batas, tentang apa pun, yang berkaitan dengan Borobudur.
Di Balik Kemegahan Borobudur
Pada awalnya kita semua memang bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa, serta tidak ada yang namanya teritorial. Yang ada hanyalah kemerdekaan sejati, yang di dalamnya termasuk hubungan manusia sebagai ciptaan dengan Sang Pencipta.
Bangsa kita ini sebenarnya dibangun dari suatu dasar kemurnian dalam segala hal. Sebuah bangsa yang damai dalam arti murni dan apa adanya, sederhana, toleran, gotong royong, saling hormat, juga sopan dan santun, yang didasari dengan keikhlasan yang tanpa pamrih.
Dan semua itu telah tertuang dalam dasar negara kita kini, yakni Pancasila yang berasal dari kristalisasi atom-atom spiritual dan budaya kerajaan-kerajaaan kecil di masa lalu, yang murni dan apa adanya, tidak berpikir perang dan perluasan wilayah, dan lebih mengutamakan penyatuan raja dan rakyat, kedamaian, ketenteraman dan kenyamanan yang alamiah dan apa adanya.
Kerajaan seperti itu pernah ada di negeri ini, yakni kerajaan Kanjuruhan, sebuah kerajaan kecil yang kemudian menghilang dengan sendirinya, namun meninggalkan artefak spiritual yang berharga bagi bangsa kita, khususnya Jawa, yakni ikhlas tanpa pamrih.
Akar budaya bangsa kita inilah, yang pada awalnya menjadi fondasi bagaimana agama-agama dan aturan yang dibawa bangsa lain akhirnya bisa diterima bangsa kita, khususnya Jawa, dan itu tertuang pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa semua yang hidup di negeri kita ini, sejatinya berTuhan kepada satu Tuhan yang sama, apa pun agamanya, yakni Tuhan segala yang hidup, Tuhan segala makhluk, Tuhan segala agama dan Tuhan segala bangsa.
Dan di balik artefak nyata yang megah dan mengagumkan dari Borobudur, pasti juga ada artefak spiritual yang tersembunyi. Bukankah artefak-artefak nyata dan megah seperti Borobudur itu juga dibangun dari artefak spiritual yang hidup abadi?
Dalam kontemplasi itu, pada awalnya penulis mungkin lebih terkesima dengan artefak nyata sebagai sebuah simbol kemegahan dan kesempurnaan suatu kejayaan di masa lalu, dan mengabaikan sesuatu yang lebih dalam dan berharga di balik itu semua.
Namun akhirnya tersadarlah penulis bahwa artefak yang tidak nyata dan berbentuk spirit sebenarnya merupakan unsur yang lebih penting dari suatu sejarah. Dan sejatinya, itulah artefak sejarah, karena sejarah tak akan pernah berbohong kecuali penulis atau pemahatnya, atau juga pihak yang berkuasa atas sebuah kepentingan. Dan Borobudur adalah saksi bisu dari sejarahnya sendiri.
Pertanyaan pun satu per satu akhirnya bermunculan mengenai apa yang ada di balik pembangunan Borobudur, yang berada di pusat Jawa, dengan kembali mengingat sejarah kerajaan sebelumnya, seperti Kanjuruhan di Jawa Timur, Kalingga di Jawa Tengah, dan juga Tarumanegara di Jawa Barat.
Candi Borobudur sendiri didirikan oleh Raja Samaratungga, yakni Raja Mataram kuno dari dinasti Syailendra pada tahun sekitar 824 M. Sebagai candi Buddha, ada sebuah pertanyaan mendasar yang muncul dalam pikiran penulis, apakah pembangunan Borobudur yang megah  secara keseluruhan itu telah mencerminkan ajaran Buddha? Tidakkah Borobudur dibangun dari arogansi seorang raja atau juga agama? Apakah pembangunannya itu dikerjakan dengan penuh keikhlasan atau dengan kerja paksa?
Apakah dibiayai dari hasil perang atau memungut pajak rakyat? Apakah juga ada korupsi seperti sekarang ini, mengingat kita juga mewarisi genetika leluhur? Dan pertanyaan yang terakhir, apakah ada kepahitan di balik hasil yang mengagumkan itu? Mengingat proses panjang pembangunannya yang hampir satu abad.
Di balik sebuah kemegahan dan kesempurnaan, biasanya memang ada sesuatu yang dipendam atau disembunyikan. Tak hanya melihat kemegahan yang tampak, kini saatnya kita menggali sejarahnya dengan utuh apa adanya, tanpa ada yang ditutupi agar kita dapat melanjutkan cita-cita luhur di balik pembuatannya, yakni swarga loka di kehidupan ini, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Negeri ini khususnya Jawa, sebenarnya adalah bangsa yang sederhana dan senantiasa memayu hayuning bawana. Kemegahannya atau Borobudurnya sebenarnya ada di dalam dirinya, dan artefak hidup yang masih tersisa sekarang adalah suku Badui Dalam, yang kehidupannya senantiasa sederhana dan tetap bersahabat dengan Alam. Untuk mewujudkan cita-cita luhur yang digaungkan Borobudur yakni surga di bumi, kita memang harus berpijak pada fondasi yang benar, dan bukan pada fondasi di atas fondasi yang keliru.
Dengan berpijak pada fondasi yang benar, yakni ikhlas tanpa pamrih yang erat kaitannya dengan tahu diri, maka suara Borobudur yang murni harus kembali kita hidupkan dan kita gaungkan. Hitam dan putih biarlah tampak apa adanya dari Borobudur, agar keseimbangan alam tetap terjaga. Dan keindahan yang sempurna dan hakiki, pada saatnya nanti tentu akan muncul dengan sendirinya, oleh cahaya keikhlasan.
Pusat Musik Dunia
Maka, biarkanlah kini jiwa yang bebas itu akhirnya pulang. Di jalanan sunyi biarkan kakinya menapakkan kerinduan dan kegundahannya. Dengan mengikuti nasihat dari dalam hatinya, dan mendengar dengan seksama suara yang ada di pikirannya, biarlah ia menuju swargantara yang bercahaya.
Suara Shambara pun akhirnya memanggil, membangkitkan jiwanya yang sejati. Bisa jadi, ia adalah jiwa yang sama, yang tersesat di tanahnya sendiri, di bumi Shambara (Borobudur).
Beragam alat musik yang ada pada relief Borobudur itu memang tak hanya menunjukkan bahwa kita mewarisi kekayaan nenek moyang yang luar biasa mengagumkan, namun kita pun akhirnya bisa kembali mendengarkan suaranya setelah dibangkitkan oleh musisi Tanah Air. Â Bisa jadi, mereka juga musisi yang sama, yang telah menemukan kembali jiwanya yang sejati.
Gambar-gambar yang terpahat di relief Candi Borobudur pun akhirnya berhasil direplikasi dan bunyinya pun bisa diinterpretasi. Apakah ini yang dinamakan Sound of Borobudur?
Mendengarkan permainan musik Mbak Trie Utami dan kawan-kawan di kanal youtube, tentu saja sangat membantu setiap renungan demi renungan.
Menurut Bachtiar Djanan dalam Sound of Borobudur Membunyikan Kembali Alat Musik dari Abad ke-8, lebih dari 10 panel relief Karmawibhangga menggambarkan penggunaan 4 jenis alat musik, yaitu jenis idiophone (kentongan dan kerincingan), membraphone (gendang, kentingan), chardophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat musik tiup).
Dan acara pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016, di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur, menjadi momentum launching Gasona, Gasola, dan Solawa, tiga buah instrumen dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga.
Komposisi "Sound of Borobudur"Â dibawakan sebagai pembuka. Komposisi ansambel dawai ini mengedepankan petikan dawai dari alat musik leluhur yang sudah ada sejak 13 abad yang lalu, sebagai simbol Borobudur telah kembali "berbunyi".Â
Borobudur adalah satu-satunya artefak nyata dan megah yang kita miliki untuk saat ini. Dengan menyuarakan dan menghidupkannya kembali, semoga kemurnian suaranya memberikan cahaya kehidupan yang sempurna bagi kita. Tak hanya menyuarakan yang tampak, namun juga yang tersembunyi atau terpendam seperti yang ada pada relief Karmawibhangga.
Suara yang indah dan murni itu pun pada akhirnya akan memanggil jiwa-jiwa bebas yang lainnya untuk pulang, dalam arti yang sesungguhnya, untuk memainkan kembali irama hidupnya dengan ikhlas tanpa pamrih. Dan setiap ia menyanyikannya, ia akan ingat bahwa Borobudur pusat musik dunia.
Pengorbanan dan penderitaan, suka-duka, dan juga keharuan di dalam perjalanan panjang pembangunannya Borobudur pada akhirnya tentu akan lebur dalam keikhlasan yang sempurna, yang tak bisa diraih ataupun dikejar di jalan yang sunyi, dan juga di keramaian, karena itu adalah berkat karunia dari Sang Pencipta sendiri.
Tulisan ini tentu kurang dan sekaligus berlebih. Jangan ragu untuk mengurangi yang berlebihan dan menambahkan yang dianggap kurang.
Penulis pada akhirnya memang masuk ke dalam kontemplasi tanpa batas, mencoba merasakan getaran padma swargantara untuk menemukan harta karun yang terpendam, sebagai modal dasar untuk menemukan arah bangsa kita saat ini, sekaligus menemukan jati diri bangsa yang sebenarnya, dengan kembali menjalankan Pancasila dengan ikhlas tanpa pamrih.
Ikhlas tanpa pamrih adalah penyelesaian dari kamadhatu (ranah hawa nafsu), rupadhatu (ranah berwujud) dan arupadhatu (ranah tak berwujud), yang menjadikan ketiganya bersatu dalam sebuah kesempurnaan yang tak lagi terdefinisikan.
Maka, ikhlas tanpa pamrih adalah dasar yang paling mendasar dari peradaban yang sebagian tercermin dalam bentuk Borobudur, tersirat jelas dalam Om mani padme hum, permata itu di dalam teratai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!