Mohon tunggu...
Christina Liapradipta
Christina Liapradipta Mohon Tunggu... -

suatu ruang gerak untuk segala hal yang ada di dalam benak, supaya sebelum terinjak-injak sudah terlanjur meninggalkan jejak.\r\njejak kicau kacau dalam 160 karakter: @thadipta, jejak gambar dalam instagram: cliapradipta, jejak ruang benak lain: bungalililembah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Kakek Lansia di Area Wanita

8 Mei 2014   22:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Pagi itu, Hari Senin sekitar pukul 9 pagi saya berada dalam sebuah bus transjakarta jurusan Pinang Ranti arah Pluit. Karena saya naik dari shelter Pinang Ranti kondisi bus masih sepi. Saya bebas memilih tempat duduk. Pilihan jika semua bangku di dalam bus penuh, dapat menunggu bus selanjutnya yang sudah dapat dipastikan kosong. Demi kenyamanan saya memilih duduk di area wanita.

Kehadiran area wanita dalam transportasi publik seperti dua sisi koin mata uang. Selain memberikan banyak kemudahan, hal ini terkadang menimbulkan beberapa masalah. Kadang sepele, kadang pula sebaliknya.

Kegiatan seperti bermain gadget, mendengarkan musik atau tidur menjadi kegiatan wajar dilakukan di dalam transportasi publik manapun. Selain untuk mengatasi kebosanan, kegiatan ini menjadi sarana ampuh untuk mempersingkat waktu.

Penumpang saling bergantian mengisi dan mengosongi tempat di tiap shelter pemberentian. Dari pengamatan saya, kebanyakan pria dan wanita seumuran saya berdiri ditengah-tengah pembatas bus yang membedakan area wanita dan area umum. Beberapa penumpang yang duduk disisi kanan kiri sayapun bersedia memberikan tempat duduknya pada penumpang lain yang lebih memiliki hak prioritas. Beberapa diantaranya nampak tidak peduli sama sekali. Jika salah satu bangku kosong dan pria usia produktif duduk di area wanita, secara tidak langsung mendapat hukuman moral, misalnya pelototan mata penumpang yang tidak terima. Atau nyinyir pedas dari penumpang disekitarnya. Hal ini tidak akan mempan pada penumpang pria yang tidak peka dan menunggu petugas mendatanginya.

Di salah satu shelter saya melihat seorang kakek berusia sekitar 6o tahunan masuk ke dalam bus. Perawakannya gemuk, rambutnya sudah memutih dan tampak sehat. Kakek ini duduk tidak lama setelah ibu yang duduk disamping saya turun di shelter berikutnya. Karena kakek ini duduk di area wanita, kondektur menegurnya. Kondektur menawarkan akan mencarikan tempat duduk di area umum, dan menjelaskan bahwa area ini khusus wanita. Sang kakek bersikeras ia lansia dan berhak mendapatkan bangku prioritas, meskipun di area wanita. Ia tidak memberikan kesempatan pada kondektur untuk membantunya.

Sebenarnya kondektur ini hanya menjalankan peraturan yang sudah ada bahwa area wanita dikhususkan untuk penumpang wanita. Dan bangku prioritas dikhususkan bagi penumpang manula, ibu hamil, penumpang dengan anak dan penumpang cacat. Hanya saja kakek ini tersinggung dan menggumam “kurang ajar” berkali-kali ke kondektur yang dianggapnya tidak menghargai orang yang lebih tua.

Melihat kondisi semacam ini beberapa penumpang wanita protes ke kondektur dan mempermasalahkan ketidaksopanan kondektur melarang lansia duduk di bangku wanita. Tapi saya melihatnya dari sisi lain, terlepas dari etika atau kesopanan terhadap orang yang lebih tua. Lupakanlah kualat atau istilah sejenis. Kondektur ini hanya menjalankan tugas dan peraturan yang sudah ada. Toh, ia pun menawarkan akan membantu kakek ini mendapatkan tempat duduk di area umum. Lain halnya ketika kondektur hanya melarangnya duduk, tidak lantas mencarikan solusinya.  Apa susahnya kakek ini berdiri dan duduk di area umum sesuai dengan peraturan, toh kondektur mencarikan tempat duduk untuknya?

Persoalan yang saya lihat disini sebenarnya sangat sederhana, terlepas dari lingkup usia hanya jika individunya sama-sama saling bertoleransi baik dengan sesama juga dengan peraturan. Bukankah peraturan dibuat untuk menertibkan, dan tujuannya demi kebaikan? Lalu apa gunanya peraturan bila baik yang diatur maupun pengawas peraturan tidak berusaha menaatinya? Apa salahnya sebagai individu merdeka mau menekan egonya agar peraturan yang sudah ada tidak mubazir jadinya.

Sebagai kaum muda yang logika dan emosinya masih berjalan, sikap apatis akan solusi orang lain baiknya tidak dipandang sebelah mata. Ada baiknya dipandang pula dari sisi yang berbeda. Janganlah dulu ditepis dengan pikiran negatif. Anggap saja kesempatan berbuat kebaikan demi menegakkan peraturan ditanggapi dengan sama-sama dewasa. Sehingga manusia tidak lantas menjadi makhluk skeptis yang mengedepankan egoistis diri semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun