Mohon tunggu...
Christina
Christina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis dan Membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Puisi] Nafas Terakhir Sang Bumi

24 Agustus 2023   11:41 Diperbarui: 24 Agustus 2023   12:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di taman yang dulu hijau dan subur,
Kini tinggal reruntuhan dan luka yang terkulai.
"Nafas Terakhir Sang Bumi" terdengar dalam senyap,
Sebuah jeritan kehancuran yang tak terelakkan.

Pohon-pohon yang dulu gagah berdiri,
Kini rimbunnya tak lagi terlihat, telah pupus lenyap.
Sungai yang dulu mengalir jernih dan riang,
Kini berubah menjadi kuburan limbah dan kesedihan.

Langit yang dulu biru dan cerah,
Kini diselimuti kabut asap dan kegelapan.
Burung-burung yang dulu bernyanyi riang,
Kini hening, terlupakan dalam deru kehancuran.

Baca juga: [Puisi] Nafas Baru

Laut yang dulu memeluk pantai dengan lembut,
Kini marah, memuntahkan sampah dan racun.
Nafas terakhir sang bumi terasa semakin lemah,
Dari setiap hembusan angin yang penuh dengan tangisan.

Kita adalah penjaga, tetapi kita juga pelaku,
Merusak dan mengambil tanpa henti.
Tapi masih ada harapan dalam gelap yang menyelimuti,
Untuk merangkul perubahan, menyembuhkan luka yang kini meradang.

Mari bersama-sama, hentikan langkah kehancuran,
Sebelum nafas terakhir sang bumi benar-benar terputus.
Bersatu dalam usaha, pulihkan kehidupan yang terluka,
Agar alam bisa bernafas lega dan mengembalikan keindahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun