Di ufuk timur, sang dewa tersenyum lembut,
Demi dunia yang terangi, ia bangun dari tidur.
Matahari, gemintang paling raya,
Cahayanya membelah awan, merayu bumi tercinta.
Kilauan emas menari di langit biru,
Seperti pelukannya yang hangat, begitu dalam kuingat.
Dia mengusir kegelapan malam dengan gagah,
Menerangi segala rahasia yang dialam.
Dalam pelukannya, bunga-bunga mekar,
Daun-daun menggagahkan diri, binatang terbang berlarilah.
Ia menggerakkan waktu dengan sabarnya,
Siang dan malam, dalam ritme yang tak terhentikan.
Oh, Cahaya Eterna, tak ada kata yang cukup,
Untuk menggambarkan keagunganmu yang penuh cinta.
Kau adalah simbol harapan dan kehidupan yang abadi,
Menyinari jiwa-jiwa yang gelap, membawa semangat yang tumbuh.
Bagaikan seniman besar, kau melukis langit,
Dengan warna-warna yang tak terhitung banyaknya.
Merah, oranye, ungu, dan biru,
Kau menciptakan pemandangan yang tiada duanya.
Di senja yang menenangkan, kau bersembunyi perlahan,
Seperti pahlawan yang tampan, menuju istirahat dalam duka.
Namun janjimu takkan pernah pudar,
Besok kau akan kembali, menyinari dunia dengan cinta.
Cahaya Eterna, pesonamu abadi,
Dalam hati kami, kau terukir dengan gemilang.
Ode ini adalah penghormatan tulus,
Untukmu, Sang Matahari, yang tiada tara dalam cahaya yang kau pancarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H