Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.
Sekilas, Mas Koko ini tak tampak seperti pencinta. Orang ini seperti kasmaran. Jatuh cinta pada kopi. Jika bukan karena kerasukan cinta, mana mungkin seorang owner coffee shop mau berperan sebagai barista juga?
“Lha namanya juga cinta. Kalau sudah cinta mau gimana? ”, katanya sambil menyeringai.
Awalnya, Mas Koko adalah seorang housekeeper selama dua tahun. Kala itu, dia dimintai bantuan untuk bekerja di coffee shop kecil.
“Saya nggak tahu apa-apa tentang kopi, begitu juga yang punya. Cuma dikasih buku menu, lalu disuruh bikin sendiri.” Jelas Mas Koko santai ketika ditanya mengenai prosesnya menjadi barista.
Bersama dengan Kiki, kakanya; dia mengelola rumah kopi kecil milik temannya. Tahun 2004, pria kelahiran 3 April 1976 ini resmi jatuh cinta dengan kopi. Dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, meneruskan cintanya pada kopi.
“Kopi nggak bakal mati. Kopi itu penyambung persaudaraan, dengan ngopi bisa ngobrol. Kopi punya trend, dieksplore apapun nggak bakal habis.” Katanya menjelaskan awalnya jatuh cinta pada kopi.
Untuk mengabadikan cintanya, lulusan SMA Institut Indonesia 1 ini membuat coffee shopnya sendiri. Tahun 2005, dia bersama VW Combinya menawarkan konsep ‘ngopi, lesehan pinggir jalan’. Mobil lucu itu sering terparkir di depan SMA Kolose De Britto.
Larangan tidak boleh parkir di depan SMA Kolose De Britto tidak membuatnya kehabisan cara. Dengan combinya, Mas Koko berputar keliling kota. Namun biaya untuk mobile malah lebih tinggi.
Bak hilang ditelan bumi, Mas Koko hilang selama tiga tahun. Rupanya dia hijrah ke Jakarta, tepatnya di Menteng. Untuk apalagi jika bukan untuk membuka coffee shop.
“Tiga tahun di Menteng, tapi tetep nggak jalan. Di sana itu ngopi bukan kebutuhan, tetapi lifestyle. ” Ceritanya kemudian sambil tetap tertawa.
Mas Koko memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Tahun 2009, dia mendirikan coffee shop lagi. Perjalanannya memang cukup panjang demi memenuhi keinginan hatinya. Jatuh bangun dia menjalani. Dengan modal sekitar 150 juta, kini Mas Koko memiliki Prada, sebuah coffee shop yang ada di Jalan Suroto, Yogyakarta.
“Bukan ikut-ikutan merk terkenal lho itu. Prada itu kalau Bahasa Jawa kan bacanya Prodo. Kalau batik, ada goresannya emasnya. Nah, goresan itu yang namanya Prada. Artinya saya mau menggoreskan emas di dunia perkopian.” Ujar Mas Koko berusaha menjelaskan arti Prada, coffee shopnya.
Saat ini Prada yang buka setiap hari, dari pukul 10.00-23.00. Minum kopi diatas jam jam 22.00 itu tidak bagus, itulah sebabnya Prada tidak buka seperti coffee shop pada umumnya.
Dengan konsep vintage, Mas Koko mengemas Prada. Tempatnya yang terbuka, sangat alami. Untuk harga, Mas Koko mematok sekitar Rp12.500 – Rp50.000; dengan menu andalan Black Coffee, Caramel Machiato, dan Cafe Yen.
Usaha ini memang cukup menjanjikan. Untuk satu bulan Mas Koko bisa mengantongi laba kotor 40 juta, sementara laba bersih mencapai 20 juta. Tak heran banyak coffee shop menjamur di Yogyakarta.
Begitulah cinta berbicara, tak banyak kata namun penuh dengan usaha. Usaha untuk bangkit. Bangkit dari keterpurukan hingga nanti berakhir bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H