By Christie Damayanti
[caption id="attachment_187053" align="aligncenter" width="531" caption="astibercerita.com"][/caption]
Terserangnya stroke sejak 2 tahun lalu, salah satu gangguan yang menjadikan aku agak susah untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat melalui berbicara, adalah karena a f a s i a ( lihat tulisanku Gangguan Kontrol Bahasa ('Afasia'): Salah Satu Akibat dari Stroke ). Tidak banyak orang yang faham, bahwa akibat stroke itu bukan hanya lumpuh Ternyata menurut penelitian Asean Neurological Assosiation ( ASNA ), di 7 negara Asean, ternyata sekitar 15% mengalami gangguan neuropsikologi ini, termasuk gangguan berbicara ( afasia ), termasuk aku, sebagai penyandang pasca stroke.(yastorki).
Dampak stroke memang sangat bervariasi, tergantung bagian mana dari otak yang terserang ( lihat tulisanku 'Brodmann Area': Mengapa Panderita Stroke dan Metode Terapinya Bisa Berlainan? ). Sehingga kerusakan yang menetap ( cacat ), menimbulkan berbagai ganggunmotorik, sensorik dan perilaku. Seperti di artikelku tentang afasia di Kompasiana, afasia muncul karena gangguan di bagian2 otak yang bertugas untuk memahami bahasa lisan dan bahasa tulisan, mengeluarkan isi pikiran, mengintegrasikan fungsi pemahaman bahasa dan mengeluarkan serta fungsi untuk berbahasa.
Sehingga, jika kita sudah mengalami stroke, dan ingin bekerja lagi, harus di test terlebih dahulu tentang otak kita, apakah kita sudah bisa lagi untuk memahami dan bekerja sesuai dengan tuntutan pkerjaan atau mungkin hanya sebagian saja, bisa mengerjakan pekerjan kuta karena memang tidak bisa sebagia, ataupun sama sekali tidak bisa lagi bekerja. Untuk test itu, seperti aku, pada waktu aku ingin bisa bekerja lagi, awal Juni 2010, aku arus di test di RSCM, Sub Bagian Fungsi Luhur Bagian Neurologi FKUI.
Bahwa aku lulus test dengan hasil yang sangat memuaskan ( artinya, fungsi2 otakku benar2 tidak mengalami gangguan tentang IQ, EQ atau konsep2 pikirku, walau 'kecacatan' otakku karena stroke, tetap ada, antara lain adalah beberapa afasia itu ).Sehingga, aku tetap bisa bekerja lagi, dengan baik, bahkan otakku tetap bisa menjadi 'juru mudi'ku dalam berkegiatan.
Ketika otak kiri kita mengalami gangguan akibat stroke ( seperti aku ), afasia justru muncul, karena otak kiri bagian depan sangat berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam berbahasa dengan baik, dan otak kiri bagian belakang, untuk mengeri bahasa yang di dengar dari lawan bicara.(Bagian Neuologi RSCM).
Karena aku hanya menderita Afasia Ekpresif dan Afasia Anomik ( walau semakin lama, aku semakin membaik ), kelancaran berbahasaku, awal2 aku terserang stroke 2 tahun lalu, sangat terbatas. Tetapi karena aku memang dasarnya 'cerewet', walau bicaraku sangat2 terbatas, aku sangat ingin untuk terus di ajak berbicara seperti sebelum sakit, sekalian untuk terapi bicara ( lihat tulisanku Kesaksianku (Bag 1): Terapi Khusus Stroke: 'Speech Therapy'), sehingga jika ada temanku menjengukku, atau mamaku menemaniku ataupun terapistku, aku banyak 'berbicara', yang mungkin sebenarnya mereka tidak tahu, apa yang aku bicarakan!
Hehehe ..... ( Sekarang aku baru tahu tentang itu, ketika terapistku, anak2ku dan teman2ku, bahwa dulu, aku hanya 'menggumam' saja, bukan 'berbicara' ).
Sehingga, dengan caraku yang selalu mengajak 'berbicara', aku justru mengalami eforia yang berlebih. Dimana eforiaku buan karena sisi negative, tetapi eforiaku lebih ke arah positif, walau ternyata itu mengakibatkan aku lebih mengalami 'gangguan berbicara' yang lain, yaitu Afasia Sensorik. Ternyata, bahwa eforia yang berlebihan, mambuat aku mengalami Afasia Sensorik. Artinya adalah, aku mengerti dengan ucapan2 dan pertanyaan2 lawan bicaraku, tetapi aku tidak menjawab pertanyaan2 mereka. Aku justru menjawab, dengan kalimat2 yang lain, walau kalimat2ku itu masih berhubungan dengan pertanyaan2 lawan bicaraku .....
Misalnya,