By Christie Damayanti
Kita jangan hanya berbicara tentang kepedulian pemerintah untuk menyelesaikan kebutuhan angkutan umum missal bagi warga kota, tetapi pemerintah pun harus pedulu dengan “keinginan” masyarakat tentang sebuah “gengsi dan prestisius”. Dimana selama ini, kebutuhan ini, sering kali (bahkan benar2) diabaikan!
Mari kita telisik tentang kebutuhan ini, berhubungan dengan kendaraan baik pribadi dan umum di Jakarta :
Sebenarnya, kita bisa ‘menghambat’ pertambahan mobil yang ada di jalanan. Pemerintah juga memang harus ‘menyetop’ kran mobil, tetapi sebagai warga negara kita juga bisa sedikit berpartisipasi supaya mobil2 di jalanan ibukota (apalagi di jam2 sibuk), sedikit berkurang.
Memang lebay, ketika aku berpikir seperti ini, karena kota Jakarta kita ini memang lur biasa berantakannya. Beberapa yang aku sering pikikan, guna untuk ‘menghambat’ pertambahan mobil di jalanan ibukota, salah satunya ada :
- Pertambahan panjang dan lebar jalan, sesuai dengan perhitungan ahli perencanaan lalu lintas dan perencana kota. Karena yang aku amati sekarang ini, pertambahan jalan ibukota berbanding terbalik dari pertambahan mobil. Dengan kata lain, jalanan ibukota hanya sekian persen per-tahun, dimana pertambahan mobil bisa puluhan persen per-tahun ….
- Kran impor mobil ditutup, atau jika tidak pun pemerintah harus benar2 berhitung, berapa banyak mobil yang bisa masuk ke Jakarta, dan berapa banyak mobil2 tua dan sudah bobrok, yang bisa dibuang.
- Tolong bedakan antara ‘mobil tua yang terpelihara dengan baik’ dengan mobil bobrok ya. Karena kita juga membutuhkan mobil2 yang tetap bisa digunakan dan dirawat dengan baik. Sementara, mobil2 bobrok (biasanya kendaraan umum yang tidak terawat), banyak sekali permasalahannya, seperti polusi asap semakin banyak, polusi suara serta ketidaknyamanan penumpang.
- Mobil2 lokal, bukan aku anti kemajuan dengan tidak memberikan ruang kepada mobil2 lokal, tetapi dengan adanya mobil2 lokal berharga murah, menyebabkan warga Jakarta yang pas2an yang ingin membeli mobil sendiri, semakin memberikan celah untuk kepadatan jalanan ibukota!
- Dalam hal ini, pemerintah benar2 harus berhitung dengan banyak hal! Antara lain berhitung dengan kebutuhan, dan keinginan warga!
- Berbicara tentang mobil dan kendaraan, pasti akan berlanjut dengan lokasi, mengapa membutuhkan mobil? Sehingga, seharusnya pemerintah dan perencana kota mendesain penyebaran fasilitas2 umum, dengan tingkat yang sama untuk semua area di ibu kota.
- Tidak bisa dilakukan dengan zoning ‘tingkat sosial’ warga Jakarta, karena pada prinsipnya warga Jakarta sekarang ini sudah menyebar strata sosialnya, baik di Jakarta Utara, Jakarta Barat (yang ini dulu dikatakan strata sosialnya lebih tinggi) Jakarta Timur (yang masih sekarang kuat untuk strata social warga Jakarta yang rendah), serta Jakarta Selatan (strata social ‘kehormatan’ karena expatriate) dan Jakarta Pusat (juga strata social ‘kehormatan’ karena tempat pejabat2 besar bertempat tingal).
- Pemerintah harus menyebar perijinan untuk fasilitas2 sosial seperti sekolah2 dari sekolah negeri sampai sekolah swasta yang bermutu), fasilitas2 mall atau perdagangan sehari2 (seperti hypermart yang baik) atau fasilitas2 kesehatan yang baik.
- Tentang fasilitas2 sekolah atau kesehatan atau kebutuhan sehari2 yang baik dan berbobot itu, memang akan ‘dinilai’ oleh masyarakat Jakarta, sejalan dengan waktu. Tetapi, ketika waktu itu mulai mencuatkan prestasi, sekolah2 atau rumah-sakit2 yang yang sudah ada ‘nama’, harus disebar ke pelosok ibukota. Sehingga ada pemerataan fasilitas.
- Dari pemerataan fasilitas ini, akan tersebar mobil2 dan tidak menumpuk di 1 titik atau lokasi, sedikit banyak mengurangi jadwal mobil ke titik yang padat.
- Selama ini memang beberapa sekolah sudah mematok jam masuk sekolah jauh lebih pagi dengan jam kerja. Sehingga, ketika jam kerja (jam padat) mulai, anak2 yang diantar supir sudah di sekolah. Pemerintah juga sudah memberikan rayon2 sekolah2 negeri untuk anak2 yang bersekolah di area A hanya bisa masuk ke sekolah negeri di area A.
- Tetapi, sebagian warga kota bukan melulu mau memasukkan anak2nya bersekolah di sekolah negeri, walau sekolah itu cukup bagus. Mereka ingin anak2nya disekolah swasta. Sehingga, ketika perijinan sekolah2 swasta yang berbobot, harus juga menyebar di semua titik ibukota.
- Begitu juga perdagangan (yang notebene warga kota sangat antusias dengan hypermart yang berbobot dan harganya memang bersaing dengan perdagangan tradisional), rumah sakit, klinik2 dan sebagainya. Kita harus mulai berhitung antara kebutuhan warga kota, dengan kenyamanan mereka.
Ini memang hanya sebagian kecil saja, untuk sedikit mengurangi kepadatan mobil di Jakarta. Tetapi yang lebih krusial nya adalah, KEHIDUPAN HEDONIS dari sebagian warga Jakarta!
Ketika beberapa temanku yang hanya keluarga kecil (suami istri dan 2 anak), tetapi berada di strata social tinggi, mereka sangat antusias dengan keinginan2 mereka untuk selalu membeli mobil2 keluaran terbaru! Bahkan mobil2 khusus yang didatangkan terbatas berharga milyar-an dan berpajak sangat besar!
Pernah aku melihat mobil2 mahal diatas 500 juta, berjejer di garasinya, dan mobil2 mahal itu hanya dipakai pembantunya untuk ke hypermarket. Anak2nya diberikan supir2 khusus, karena sekolah mereka berjauhan, karena mereka memilih sekolah2 sesuai dengan keingnannya.
Kehidupan hedonis itu berlanjut, ketika perencana kota mendesain ‘kota satelit’, seperti Lippo Karawaci atau Kelapa Gading, tetapi masih memberikan ‘celah2’ fasilitas2 diluar kota satelit itu, untuk warganya merasa “harus ke lokasi di luar kota satelit” sehingga mobilpun bergerak ke lokasi itu, yang menambah kepadatan kota.