By Christie Damayanti
Aku keluar dari stasiun Shin Kobe khusus Shinkansen ke lobby utama .....
Shin Koba Station!
Aku sih, bukan karena kota Kobe nya yang membuat aku sangat excited. Tetapi, yang membuat aku teramat excited sejak pagi hari waktu masih di apartemen Michelle di Funabashi Hoten adalah, mau bertemu dengan tema TK, yang tidak bertemu lagi sejak lulus TK tahun 1975!
Gila, kan! 44 tahun tidak bertemu, dan aku tidak tahu, wajah dan rupa teman TK ku seperti apa.
Walau Baskoro sudah mengirimkan fotonya, kemarin sebelum aku kesana, tetapi bayngan wajahnya waktu TK, tetap tertinggal sebagai memori di otak cacatku.
Aku tidak sabar untuk turun. Kota Kobe termasuk kota besar di wilayah Kansai, dan merupakan juha kota bisnis. Sehingga, dari Tokyo ke Kobe pun bukan hanya wisatawan2 asing saja yang kesana seperti aku, tetapi bisnis2 man atau bisnis2 woman dengan baju2 resmi kantoran, yang antri untuk turun.
Setiap kota yang disinggahi Shinkansen, mempunyai waktu sekitar 15 menit untuk menurunkan dan menaikkan penumpangnya. Seperti di pesawat, sebagai disabilitas aku selalu dilayani untuk masuk ke pesawat yang pertama, dan disusul oleh keluarga yang mempunyai bayi dan anak2 kecil.
Tetapi, ketika turun dari pesawat, kami kaum disabled akan dilayani yang terakhir, setelah semua penumpang yang non-disabilitas semua sudah turun.
Begitu juga di kereta Shinkansen. Petugas2 Stasiun Shin Kobe pun sudah naik sebelum penumpang turun, tetapi 2 orang petugas yang akan melayaniku, hanya menunggu di samping kanan dan kiriku, siap melayani aku dengan kursi rodaku, mengantri di ujung belakang, menunggu semua penumpang turun.
Tokyo Station -- Shin Kobe Station ditempuh selama sekitar 3 jam, dengan kereta peluru Shinkansen, dengan 5 kali pemberhentian. Pelayanan Shinkansen sangat baik, seperti pelayanan pesawat terbang. Ada pramugari atau pramugara serta petugas yang hilir mudik untuk mengecek penumpang2nya.