Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Paris? Wisatawan? Disiplin?

14 September 2015   12:09 Diperbarui: 14 September 2015   13:26 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Christie Damayanti

Kembali lagi dari Disney Store ke Arc de Triomphe, tetap membuat kami senang, lewat sisi sebelahnya. Mengapa kami kembali? Karena di titik Disney Store tidak ada halte penyetopan taxi. Dan di titik yang lain, taxi2 itu sudah diborong lewat halte penyetopan taxi di Arc de Triomphe. Akhirnya kami menyeberang di sisi yang lain dari jalan Champs Elysees. 

Di negeri lain, apalagi negeri maju yang masyarakatnya sangat disiplin dan mindset selalu menuju kesejahteraan, mereka selalu mendesain perkotaannya sangat komprehensif. Salah satunya tentang kendaraan umum yang terintegrasi, termasuk titik2 mana untuk pemberhentiannya. Warga kota 'dipaksa' untuk mencari pemberhentian kendaraan umum sesuai dengan desain kotanya. Antara pemberhentian itu selalu dengan standard perkotaan. Dan pemberhentian bus umum, bus khusus untuk wisatawan, taxi atau MRT kereta bawah tanah, berbeda, sesuai dengan desain dan standard perkotaan.

Kita tidak dapat menyetop bus bahkan taxi di sembarang tempat, walau kosong. 
Selama aku berada di negara lain sejak dulu, lewat wisata atau tugas pekerjaan, aku mengamati sebuah kenyataan yang sangat miris. Ketika aku bertemu dengan banyak orang Indonesia disana, mereka menjadi disiplin. Termasuk temanku waktu berada dalam tugas yqng sama beberapa tahun lalu. Berjalan kaki dan mengantri dengan disiplin, mencari taxi di halte yang disediakan dan memuat taxi dengan hanya 4 orang saja, walau taxi sedan itu punya ruang lebih untuk tambahan 2 orang lagi. 

Tetapi apa yang terjadi? Ketika kami pulang dari tugas di beberapa negara di Eropa dan Asia, temanku kembali lagi ke asalnya. Dia tidak disiplin dan mengantri, termasuk antri kemacetan, grasa grusu tidak karuan. Menyetop taxi di senbarang tempat dan membuat di belakang taxi tersebut klakson2 berbunyi nyaring. Bus? Ojeg? Jangan tanya!

Sampai aku sangat sinis dengannya, ketika waktu kami harus menyetop taxi di Jakarta, tetapi temanku itu menyetopnya di..... depan sebuang gang, dan dia berlari ketika si pengemudi taxi menghentikan taxi nya di.....tengah2 jalan! Astaga! Ya... paling tidak, setop lah taxi di tempat yang cukup sepi dan taxinya minggir di sisi pedestrian, sehingga tidak menghalangi mobil lain...

Temanku ini sudah sering bertugas ke luar negeri dan beberapa kali bersamaku. Dia pun sudah sering ke luar negeti bersama keluarganya. Tetapi jiwa dan mindset nya tidak berubah! Dia akan disiplin dan menaati peraturan2 di luar negeri tetapi ogah di negeri sendiri! Dan aku tahu, ada banyak teman2ku atau orang lain seperti ini! Bahkan beberapa temanku menyetir mobilnya sepwrti orang2 yang tidak berpendidikan! 

Kesinisanku bertambah lagi, ketika mereka semakin tidak peduli, dan justru mengatakan bahwa,

"Indonesia itu masih sangat jauh untuk seperti negara lain. Belum adq halte2 seperti disana. Kalau aku menunggu bus atau taxi di halte yang seharusnya, aku ga akan mendapatkannya, karena bus atau taxi itu akan berhenti di titik di mana orang menghentikannya, di mana pun itu .....”

Hmmmmm... kasihan sekali mereka. Jika mereka berpikir seperti itu, bagaimana Indonesia mau maju? Yang sudah sering melihat jedisiplinan negara lain itu saja, masih ber-main set merendahkan negata sendiri dan justru tidak memberi contoh kepadq orang2 lain yang tidak akan bisa pergi ke luar negeri, so......siapa yang akan mulai? Kasihan Indonesiaku...

Walau di Paris wisataku kali ini, banyak kekecewaanku yang berhubungan dengan supir taxi, tetapi merela tetap disiplin dengan taxinya. Berhenti sesuai dengan aturan. Hanya mereka yang mungkin merasa lebih tinggi dengan wisatawan2 disana lah, yang membuat mereka bisa melakukan cara2 yang membuat aku selalu kesal untuk membayarnya. Tiap taxi disana selalu ada mesin untuk membayar memakai kartu kredit, sekecil apapun nilainya.

Tetapi selama aku naik taxi disana, justru mereka meminta uang cash, sehingga aku harus tarik otot dulu sevelum naik mobilnya. Padahal antar tempat yang kami mau datangi, umumnya di atas 15 Euro, sehingga aku harus memakai kartu kredit untul membayarnya. Apalagi cash Euro kami semakin menipis karena salah perhitungan .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun