By Christie Damayanti
[caption id="attachment_293900" align="aligncenter" width="579" caption="republika.co.id"][/caption]
Aku berlari-lari setelah keluar dari mobilku, sambil menggandeng tangan papaku. Mamaku sudah berjalan jauh di depan bersama adik-adikku dan tanteku menuju Pasar Ikan. Waktu itu, kami semua masih kecil-kecil dan orang tuaku, apalagi Papa sangat suka dengan kepiting rebus, udang goreng atau cumi bakar, sehingga periodik sekali kami ke Pasar Ikan dekat Museum Bahari untuk mencari hewan-hewan laut kegemaran kami. Dan aku terakhir turun dari mobil, menemani Papa yang memarkirkan mobil kami.
Sungguh, walau aku perempuan yang diinginkan Mama untuk mengikuti jejak Mama yang suka ke pasar untuk membeli kebutuhan bahan makanan, tetapi aku benar-benar tidak suka ke pasar, hehehe... sehingga jika aku ke Pasar Ikan aku hanya melihat-lihat ikan dan hewan-hewan aneh, bukan 'ngubek-ngubek' pasar untuk mencari harga yang lebih murah. Jadi, aku hanya berkeliling dengan papaku, melihat-lihat saja, sementara mamaku bersama dengan tanteku benar-benar 'ngubek-ngubek' pasar sedangkan adik-adikku juga bersama dengan aku dan papaku.
Mulai dengan melihat-lihat ikan-ikan segar dan hewan-hewan aneh yang bisa dimakan. Ada kepiting (lihat tulisankuKepiting Soka : Cangkangnya 'mak Kriuk ... Kriuk ... Kiuk ... Â ), berjenis-jenis udang dan cumi-cumi (lihat tulisankuKuliner 'Anak Gurita' : Sensasi Tentakelnya, Hmmmmm ...... ), kerang (lihat tulisanku 'Tiram ( Oyster ) Segar' untuk Pencinta Makanan Eksotis ), atau ubur-ubur (lihat tulisanku 'Ubur-ubur' Sebagai Makanan Pembuka yang Memanjakan Selera ), sampai timun laun untuk haisom (lihat tulisanku 'Haisom' : Tubuhnya Gurih dan Lembut di Mulut ).Kadang-kadang kami menemukan banyak hewan-hewan laut yang tidak untuk dimakan tetapi untuk dikeringkan menjadi souvenir.
Dari Pasar Ikan itu, aku, adik-adikku dan papa berjalan-jalan di sekitarnya melihat-lihat toko-toko souvenir dari hasil tangkapan nelayan. Berjenis-jenis kerang dibuat berbagai bentuk kebutuhan, seperti hiasan rumah, perangkat di meja makan ataupun sekedar jepit rambut. Ada juga kuda laut kecil yang  minyaknya (katanya) bisa sebagai 'obat kuat' untuk pria. Ada lagi Bulu Babi, dengan duri-durinya yang tajam, sangat menarik karena jika masih hidup, dan kita tertusuk duri-durinya, racun akan langsung masuk ke tubuh kita dan akan bermasalah dengan kesehatan kita.
Jika 'emak-emak' seperti mama dan tanteku sudah masuh ke pasar, pasti akan lama sekali, pasti lebih dari 2 atau 3 jam, sehingga biasanya kami sempat juga masuk ke Museum Bahari. Sebuah museum yang sebegarnya sangat menarik dan merupakan salah satu cagar budaya di Jakarta Utara, tetapi sampai sekarang pemda tidak mensosialisasikan museum ini sebagai tempat wisata yang keren dan berkualitas.
***
Itu adalah gambaran Pasar Ikan dekat Museum Bahari di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebuah kenangan yang manis sekali dengan keluarga yang sering berjalan-jalan mencari ikan dan melihat-lihat kekayaan alam lautan Indonesia lewat hasil tangkapan nelayan-nelayan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari sejak SD sampai sebelum lulus SMA, kami masih sering berjalan-jalan di sana. Tetapi ketika aku dan adik-adikku sudah lulus SMA, praktis kami tidak pernah lagi ke sana hanya aku saja yang beberapa kali ke sana berhubungan dengan kuliah dan pekerjaanku.
Beberapa saat sebelum Papa dipanggil Tuhan, awal Maret 2013 kemarin, aku, Papa, Mama dan anak-anakku sempat berjalan-jalan ke sana. Memang tidak mencari ikan-ikan atau hewan-hewan laut kegemaran kami dulu, tetapi kami hanya meniti jejak nostalgia antara aku dan kedua orang tuaku. Dan kami bercerita tentang nostalgia itu kepada anak-anakku.
Keadaan gang kecil yang masuk dari Jalan Pasar Ikan sebagai jalan tempat Museum Bahari berada, waktu itu pun (sekitar pertengahan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an), sudah sangat amburadul. PKL-PKL berseliweran di sana berjualan minuman, rokok, atau beberapa mainan. PKL-PKL itu berada di depan toko-toko souvenir yang menyebabkan parkir menjadi susah dan berjalan-jalan pun tidak nyaman karena pedestrian dipakai oleh PKL.
Apalagi mulut gang yang menuju bangunan besar tempat Pasar Ikan berada, dipenuhi oleh angkot-angkot atau Metro Mini, sehingga semakin semrawutlah tempat itu, waktu itu!
Bagaimana dengan sekarang?
Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun kami sering ke sana. Bahkan lebih semrawut lagi. Untuk parkir mobil di sana sekarang lebih susah lagi, sehingga menjadikan warga Jakarta yang dulunya senang ke sana seperti keluargaku dulu, menjadi malas dan memilih mencari ikan di pasar modern atau supermarket saja. Kadang-kadang toh harganya tidak terlalu beda jauh, dan ikan-ikan di supermarket juga banyak yang segar-segar bahkan ada juga yang masih hidup.
Pasar Ikan-nya sangat kotor dan jorok. Memang, semua pasar itu kotor dan jorok, lebih-lebih di Jakarta (?), tetapi jika warga yang berjualan di sana tahu tentang kepedulian sosial untuk kebersihan, kenyamanan, dan prioritas bagi pembeli, aku yakin pasar tersebut akan lebih nyaman untuk melakukan transaksi jual-beli. Pedagang-pedagang yang sebagian besar merupakan nelayan-nelayan yang hasil tangkapannya dijual di pasar itu, dengan sembrononya tidak peduli dengan kenyamanan pembeli. Padahal belum tentu pembeli itu yang bisa untuk 'berjorok-jorok ria'. Banyak ibu-ibu (dari dulu) sepulang dari Gereja Minggu siang seperti kami dulu, ke Pasar Ikan untuk benar-benar mencari ikan atau sekedar berjalan-jalan saja.
Ada lagi tentang gang di depan pasar. Jalannya sudah semakin rusak, sepertinya tidak pernah diperbaiki lagi (?). Toko-toko souvenir yang dulunya menjual hasil tangkapan nelayan yang disulap untuk barang cantik dari kerang dan yang lain, sekarang menjadi toko-toko yang menjual tidak jelas. Hanya seperti lingkungan kumuh di perkampungan perkotaan. Sayang sekali.
Jika tahun 1970 sampai 1980-an seperti cerita di atas, alangkah indahnya jika semakin ke sini tempat itu menjadi wisata Dunia Bahari. Dari sejarah kebahariaan Indonesia dan Batavia Tempo Dulu, ada penampungan ikan bagi nelayan-nelayan di sana sampai penampungan untuk hasil tangkapan yang menjadi benda-benda seni, sebenarnya akan membuat Jakarta lebih 'kaya warna' untuk kepariwisataan Indonesia.
Aku pernah tahu, bahwa Jalan Pasar Ikan dan Museum Bahari ada di brosur-brosur untuk 'city tour' bagi wisatawan-wisatawan asing yang ada di sebaran hotel-hotel besar di Jakarta. Tetapi, aku kurang yakin jika wisatawan-wisatawan itu mau masuk ke sana, secara lingkungannya sama sekali tidak ada fasilitas-fasilitas untuk wisata dan keamanan dan kenyamanannya pun sangat tidak memadahi!
Sayang sekali, hidup kebaharian Indonesia dan Batavia yang sebenarnya sudah dikenal mancanegara, terkikis habis hanya dalam waktu kurang dari 100 tahun kemerdekaan kita. Yang tersisa adalah hanya sisa-sisa kejayaan sejarah bahari Indonesia lewat foto-foto tempo dulu. Tidak ada yang tersisa dengan adanya nelayan-nelayan yang aku yakin sebagian besar adalah keturunan 'pahlawan bahari' kita.
Sekarang, masihkah kita tidak peduli?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H