Mohon tunggu...
christianus seageat
christianus seageat Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

simple.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cetusan Hati Anak Kecil

23 April 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335169612102084234

Ini adalah cetusan sederhana dari anak-anak kecil berhubungan dengan situasi kedua orang tuanya yang tidak harmoni. Ini dirangkum dan disarikan dari banyak surat anak-anak yang kami kumpulkan dari anak sekolah minggu.

Rumahku bukan lagi tempat yang indah karena ayah dan ibuku kerap bertengkar. Keluargaku juga bukan merupakan tempat yang teduh karena teriakan dan hardikan hampir merupakan menu setiap hari. Seruan yang satu dibalas dengan teriakan yang lain. Lontaran yang lain dijawab kasar oleh yang satu. Dalam suasana yang panas, kering, hambar seperti ini rasanya waktu berjalan lama. Menunggu hari esok terlalu panjang. Tetapi apakah kalau hari esok tiba, suasana akan berobah menjadi lebih baik; kasar menjadi lembut, benci menjadi cinta, marah menjadi ramah, sinis menjadi manis, tatapan tajam menjadi lembut. Hanya Allah yang tahu.

Aku hanya mau bertanya kepadaMu Allah, di manakah Engkau ketika kedua orang tuaku bertengkar hebat? Apakah Engkau sendiri mendengar kata-kata kasar dari ayahku, dan jawaban yang tidak sampatik dari ibuku. Bagaimanakah perasaanMu sendiri saat mereka saling melukai perasaan. Apakah perasaanmu juga terluka?

Walau dinding rumahku terbuat dari beton, namun rasanya itu tidak kuasa menopang kegoncangan yang terjadi. Walau atapnya dari seng, namun itu juga tidak kuasa memberi keteduhan. Walau lantainya kokoh berlantai keramik, namun itu juga tidak mampu menahan ketegangan yang nyata. Rapuh ! karena cinta mulai terkikis, kesabaran mulai hilang, rasa percaya mulai pudar, dan kelemahlembutan juga kini sirna.

Rasa ketidak enakanku bahkan ketakutanku sangat nyata terasa saat mereka berdua seperti tidak saling mengenal. Mereka seperti orang lain saja yang seenaknya mengumbar emosi yang membara dan kemaharan yang tidak terkontrol. Sering aku menangis mengingat semuanya ini. Rasanya aku mau berlari meninggalkan kenyataan ini. Aku juga sering bermimpi keluargaku, rumahku dan kedua orang tua hidup rukun dan damai, tetapi sampai sekarang mimpi itu tidak datang-datang. Malahkan kesannya semakin menjauh.

Allahku, aku adalah anak kecil yang tidak puasa kuasa untuk mengobah segalanya. Anak kecil yang masih harus diajar dan didik tidak pantas mengatakan sesuatu kepada mereka. Maka air matakulah yang sering menjadi pelarianku. Doaku jugalah yang sering menjadi sandaran harapanku. Air mata itu belum kering, dan saya tidak tahu kapan itu akan menjadi kering. Saat tangisanku mulai reda, air mata itu mengalir lagi, kenyataan pahit itu datang lagi; teriakan, hardikan, kemarahan dan rasanya mata ini sudah sangat perih, bibir ini keluh dan perasaan ini sangat sedih teriris. Luka lama itu teriris lagi.

Allah aku rindu tersenyum. Aku ingin tertawa. Aku mau damai itu. Aku inginkan keteduhan itu. Aku mendambakan kerukunan itu. Tetapi kapan? Hanya Engkau yang tahu. Hanya ini pintaku dan harapanku, “Redakan kemarahan itu, lembutkan hati yang keras itu, dan sirami jiwa yang panas itu. Saya percaya Engkau mampu melakukannya karena Engkau Maha Kuasa, sebagaimana guru sekolah minggu ku utarakan. Allahku buatlah aku tersenyum, kalau belum bisa tertawa. Buatlah aku tenang kalau belum bisa senang.

Allah, di penghujung cetusan ini aku hanya mau mengatakan sebuah doa pengharapan, nyanyian mimpi, kidung keyakinan, senandung kepastian, bahwa Engkau tidak akan membiarkan ayah dan ibuku larut dengan suasana pedas, pahit dan ketegangan ini. Engkau tidak mengijinkan ayahku memarahi hebat ibu. Engkau juga jangan membiarkan ibuku membalas lontaran ayahku dengan tidak simpatik. Benar sebagai anak aku tidak kuasa mengobah segalanya, tetapi aku berhak bermohon segalanya dariMu untuk ayah dan ibuku; damai, kasih, suka cita, kelemah lembutan, kerendahan hati dan kesabaran. Allah jadikanlah semuanya ini menjadi hiasan dan pernik keluargaku. Amin. (Dari anakmu) Para sahabatku terkasih, cetusan hati anak kecil ini menjadi cetusan hati anakmu juga. Anak siapa yang tidak ingin damai di rumahnya? Anak siapa yang tidak menangis melihat kenyataan pilu di hadapannya? Kamu boleh saja mengatakan bahwa anakmu belum mengerti apa-apap, namun ingatlah bahwa mereka bisa melihat dan merasakannya. Semoga harapan, keinginan dan mimpi anakmu nyata dalam keluargamu. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun