PERLUNYA FASILITAS & ATURAN YANG LEGAL UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PENYIMPANGAN SEKSUAL DI DALAM LAPAS
- PENDAHULUAN
Argumen antisosial sering terdengar akhir-akhir ini dan umum terjadi. Orang Indonesia sering berbicara kasar tentang penyimpangan sosial yang homoseksual atau penyuka sesama jenis, serta laki-laki yang disebut gay atau perempuan yang disebut lesbian atau biasa disebut LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Fenomena ini bisa terjadi dimana saja termasuk tempat pembinaan narapidana yaitu Lembaga Pemasyarakatan.
Lapas adalah tempat di mana terpidana atau tersangka dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Tujuan Lapas adalah sebagai sarana pencegah, dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan menjadi tempat latihan bagi narapidana untuk meningkatkan kualitas hidupnya setelah menjalani masa tahanan. Narapidana di lembaga pemasyarakatan tentu akan dibatasi hak-hak nya di lembaga pemasyarakatan. Secara alami, hal ini membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seksual.
Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, dan mereka dapat mencintai dirinya sendiri (self-love), mencintai lawan jenis (heteroseksualitas), mencintai sesama jenis (homoseksualitas), bahkan mencintai makhluk dan benda lain.
Dengan demikian, kemungkinan perilaku seksual yang tidak normal sangat umum terjadi. Penyimpangan seksual adalah perilaku seksual di mana seseorang mencari kesenangan seksual melalui perilaku yang tidak pantas. Tujuan dari penyimpangan seksual tersebut adalah untuk menikmati hasrat seksual dengan cara yang tidak pantas. Penyebab penyimpangan gender ini bersifat psikologis dan psikologis, yang muncul dari pengalaman masa kecil, lingkungan sosial, dan faktor genetik.
Dalam sistem hukum Indonesia yang tertuang dalam konstitusi RI no. Pasal 28 dan 29 UU HAM tahun 1945 menyatakan “ Hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dianiaya secara surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu gugat, dikurangi bagaimanapun juga.”, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).
Menurut Abraham Maslow dijelaskan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan dasar seperti piramida, yaitu: tingkat dasar yang harus dipenuhi manusia untuk bertahan hidup, yaitu. kebutuhan fisiologis seperti oksigen, makanan, air, istirahat, seksualitas dan kebutuhan. untuk rangsangan sensorik. Pada dasarnya, tidak semua orang bisa memuaskan kebutuhan seksualnya. Narapidana adalah orang-orang yang terisolasi secara sosial dan tidak memiliki hubungan dengan orang lain selama berada di Lapas / Rutan, yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seksualnya. Lapas adalah tempat atau pusat pelatihan bagi narapidana dan siswa lapas di Indonesia.
Menurut Priyatno (2016:110), dalam kaitannya dengan pendidikan narapidana di Lapas, klasifikasi terjadi menurut umur, jenis kelamin, lama hukuman, jenis. tergantung pada kebutuhan kejahatan dan kriteria lain atau pengembangan pelatihan.
Tujuan adanya pidana yang dijalani oleh narapidana adalah untuk memberikan efek jera, menyadarkan mereka akan perbuatannya, mencegah agar tidak terulang kembali, memperbaiki diri dan memungkinkan mereka untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat, dapat aktif untuk bertindak, untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan menjalani kehidupan normal sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
- PEMBAHASAN
Lapas merupakan tempat dimana laki-laki dan perempuan hidup terpisah, sehingga hal ini dapat menimbulkan fenomena homoseksual. Kehidupan narapidana di Lapas membatasi hak-hak yang dimilikinya, salah satunya hak untuk memenuhi hasrat biologis. Pemenuhan hasrat biologis merupakan kebutuhan dasar manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Karena hubungan intim antara narapidana dengan pasangan sahnya merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan dipenuhi, diantaranya dengan penyediaan fasilitas bilik-bilik cinta atau ruang-ruang interaksi intim.
Dr Boyke menjelaskan dalam sebuah buku berjudul “Di Balik Ruang Praktik” bahwa penyimpangan seksual bisa terjadi karena pria mengalami hambatan dalam melepaskan hasrat seksualnya. Anal sex yang merupakan perilaku seksual yang tidak normal namun sering terjadi di dalam Lapas / Rutan akibat tidak terpenuhinya atau terhambatnya hasrat seksual narapidana. Kegiatan Seks sesama jenis / homoseksualitas di Lapas / Rutan bukan lagi hal yang baru di dalam Lapas.
Ada studi kasus diambil dari Lapas Kelas IIA Pekanbaru tentang penyimpangan seksual yaitu homoseksualitas. Penyimpangan seksual berupa homoseksualitas terjadi karena banyaknya narapidana di Lapas Kelas IIA Pekanbaru dan kondisi yang overcrowded sehingga menyebabkan terjadinya berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan kaidah, seperti perilaku seks menyimpang yaitu homoseksual yang dilakukan antara narapidana untuk saling memenuhi kebutuhan biologisnya. Tentu saja, perilaku homoseksualitas merupakan bentuk penyimpangan yang sangat merugikan dan mengkhawatirkan bagi para narapidana lainnya.
Penyimpangan seksual ini bisa berdampak berbahaya terhadap kesehatan, kanker anal atau dubur dapat dikhawatirkan karena para homoseksual melakukan hubungan seksual melalui anal sehingga mereka memiliki resiko tinggi terkena kanker anal. Karena terjadinya sodomi atau “anal sex” yang merupakan factor utama terjadinya virusHIV/AIDS, virus HIV/AIDS adalah dampak yang paling tinggi karena mereka memiliki gaya hidup yang bebas. Faktanya, penyebaran homoseksual begitu cepat, bahkan yang tadinya terlahir sebagai laki-laki “normal” dapat terkena hal tersebut.
Dibandingkan dengan populasi umum, prevalensi penyimpangan gender di Lapas / Rutan 7,5 kali lebih tinggi. Ini adalah puncak gunung es di mana masalah muncul yang disebabkan karena kelebihan kapasitas dan kurangnya sumber daya di dalam Lapas. Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas dan kondisi penjara yang tidak manusiawi Pemandangan umum yang terjadi di Indonesia adalah kondisi penjara dan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas sangat tidak manusiawi.
Sebagai contoh terjadinya penyimpangan seksual berupa homoseksual di dalam Lapas Kelas IIA Pekanbaru adalah banyaknya jumlah narapidana di Lapas Kelas IIA Pekanbaru, yang menyebabkan kondisi overcrowded.
Maka dari faktor tersebut harus lebih diperhatikan kembali untuk penambahan ruang sel tahanan dan dapat dilakukan deteksi dini kepada narapidana kemudian melakukan seleksi pemisahan sel kepada narapidana yang terdeteksi memiliki ciri-ciri homoseksual atau yang sudah melakukan penyimpangan tersebut. Selain penambahan fasilitas berupa ruang tahanan, pada tahun 2010 DPR menyetujui wacana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membangun ruang khusus seks di lapas guna memenuhi kebutuhan biologis untuk penyaluran hasrat para narapidana.
Ruang khusus seks tersebut ditujukkan bagi narapidana yang sudah berkeluarga. Tentunya pelaksanaan harus terkontrol dan dilakukan pengawasan secara ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Namun sampai saat ini wacana tersebut belum dapat direalisasikan di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dan belum ada ketuk palu dari DPR untuk rancangan tersebut. Dikarenakan ada beberapa faktor seperti dikhawatirkan kamar khusus seks dapat dijadikan bisnis terselubung, terbatasnya dana pemenuhan kebutuhan sehari-hari narapidana, persoalan higienitas dan keterbatasan tempat masih menjadi perhatian. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya diwujudkan penyediaan fasilitas khusus bagi para narapidana dalam sebuah kebijakan.
Untuk memperhatikan kebutuhan seksual narapidana dapat melalui suatu model hukum yang humanis, misalnya melalui penerapan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam Pasal 14 ayat 1 (j) tentang Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) menyatakan bahwa ”narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan asimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga” yaitu kesempatan dapat bertemu / berkumpul dengan keluarga di tempat kediaman keluarganya dalam waktu 2 x 24 jam atau selama dua hari bagi narapidana yang memenuhi syarat.
Kesempatan tersebut dapat digunakan dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual bagi pasangan yang sudah menikah.
Namun, menurut Peraturan Menteri Kehakiman Tahun 2001 terdapat beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh narapidana untuk memperoleh CMK, yaitu: berkelakuan baik, masa pidana paling singkat dua belas bulan, telah menjalani setengah masa pidana, sudah dilakukan penelitian kemasyarakatan dan pemberitahuan ke kantor wilayah setempat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana untuk memperoleh CMK perlu dipermudah karena tidak dapat terlaksana sewaktu-waktu terutama saat hasrat dirasakan mendesak sehingga mereka tidak kehilangan hak tersebut.
- PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tentang penyimpangan seksual yang terjadi di dalam Lapas ini terjadi dikarenakan narapidana dibatasi hak-haknya dalam pemenuhan kebutuhan seksual sehingga sering terjadi fenomena homoseksual.
Faktor terjadinya fenomena ini adalah kelebihan kapasitas atau overcrowded dan sumber daya manusia yang minim di lapas. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa lebih diperhatikan kembali untuk penambahan ruang sel tahanan dan dapat dilakukan deteksi dini kepada narapidana kemudian melakukan seleksi pemisahan sel kepada narapidana yang terdeteksi memiliki ciri-ciri homoseksual atau yang sudah melakukan penyimpangan tersebut.
Kemudian perlunya fasilitas berupa kamar / bilik cinta yang ditujukan kepada narapidana untuk memenuhi hasrat seksual narapidana yang sudah menikah sehingga mencegah terjadinya fenomena penyimpangan seksual seperti homoseksual. Selain itu penerapan cuti mengunjungi keluarga (CMK) dapat menjadi solusi yang baik untuk narapidana memenuhi kebutuhan seksual tetapi dengan syarat-syarat yang dapat dipermudah sehingga para narapidana tidak kehilangan hak tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H