"Maka akan tiba saatnya,
kebencian tak lagi berkuasa,
dan kasih menjelma udara,
yang dihirup siapa saja."
--- WS Rendra
Langit Serang, Banten, memayungi kami dengan cahaya mentari yang lembut, udara segar, dan alunan alam yang menenangkan, menghadirkan suasana yang jauh berbeda dari riuhnya Jakarta. Pada pagi cerah 20 Oktober 2024, kami, siswa kelas 12 SMA Kolese Kanisius, melangkah keluar dari zona nyaman, memasuki dunia baru dengan harapan dan rasa ingin tahu. Tujuan kami adalah Pondok Pesantren Terpadu Bismillah, tempat yang kelak menjadi kanvas cerita tentang harmoni, toleransi, dan persahabatan lintas iman.
Seperti membuka babak baru dalam hidup, perjalanan ini menyimpan tanda tanya: bagaimana mereka akan menyambut kami? Bagaimana kami dapat memahami cara hidup yang begitu berbeda? Namun, sesaat setelah roda bus berhenti di halaman pondok, sambutan hangat para santri menghapus keraguan. Melalui jendela bus, kami melihat senyum tulus mereka, menjadikan langkah pertama kami ke pesantren seperti undangan untuk memasuki keluarga baru.
Pondok pesantren ini bagaikan dunia lain, sebuah ruang dimana kesederhanaan menjadi kekuatan dan kebersamaan menjadi jiwa. Dari bangun sebelum fajar hingga tidur di bawah naungan doa, tiga hari di pesantren ini terasa seperti perjalanan ke dalam hati manusia yang penuh pengabdian. Jika di sekolah kami terbiasa dengan nyanyian rohani dan doa Katolik, di sini panggilan azan menjadi musik pagi yang merangkul semua dalam satu irama spiritual.
Melukis Harmoni di Antara Lantunan Doa
Bayangkan aula besar dengan dinding sederhana yang dipenuhi semangat. Di sana, lantunan ayat-ayat Al-Qur'an terdengar syahdu, menggema, dan mengalir seperti arus yang membawa kami menuju kedamaian. Duduk bersila di samping para santri, kami mencoba mengikuti irama doa mereka. Meski tak memahami maknanya sepenuhnya, kami menemukan kesamaan dalam khusyuknya hati yang berdoa. Perbedaan agama, dalam momen itu, bukanlah pemisah, melainkan menjadi jembatan persaudaraan.
Seorang santri bernama Ical menjadi simbol persaudaraan yang tak terduga. Dengan sabar, ia mengajari kami, anak-anak Jakarta, cara menggunakan sarung dengan baik agar tidak kendor, mengenalkan para santri lainnya, dan menjelaskan rutinitas mereka. Ketulusan Ical dan teman-temannya menyentuh hati kami, mengajarkan bahwa kebaikan dan kasih adalah bahasa universal.
Menjalani Hari-Hari Sebagai Santri
Salah satu kegiatan yang kami lakukan secara rutin di pondok pesantren adalah menjalani kehidupan santri selama sehari penuh, dari sholat Subuh berjamaah, belajar di kelas, hingga kegiatan sore yang diisi dengan mengaji. Rutinitas yang sederhana ini ternyata menyimpan kebijaksanaan. Bangun pagi bukan sekadar kebiasaan, melainkan simbol pengabdian. Belajar bukan hanya untuk duniawi, tetapi juga persiapan untuk akhirat. Dari mereka, kami belajar bahwa harmoni dimulai dari kedisiplinan kecil yang dijalani dengan ikhlas.
Namun, di tengah jadwal yang padat, kami diberi kesempatan istimewa untuk mengikuti sebuah seminar yang dipimpin langsung oleh kepala kiai pesantren. Kegiatan ini membahas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan moderasi beragama. Kiai menegaskan bahwa keberagaman adalah kekayaan bangsa, bukan penghalang. Moderasi beragama, menurut beliau, adalah kunci menjaga harmoni dengan menghindari ekstremisme dan menjunjung nilai saling menghormati. Saya takjub melihat keterbukaan mereka terhadap dunia luar, mematahkan stereotip bahwa pesantren adalah tempat yang tertutup.
Ekskursi ini bukan hanya tentang kunjungan, melainkan pelajaran hidup. Dalam era dimana perbedaan sering menjadi alasan konflik, pengalaman ini menunjukkan bahwa keberagaman adalah rahmat. Perbedaan adalah ladang tempat kasih sayang tumbuh, bukan alasan untuk saling menjauh. Kami belajar bahwa kesederhanaan para santri dan semangat mereka dalam mengejar ilmu adalah refleksi dari nilai-nilai universal yang tak lekang oleh keyakinan.