Bukan tanpa sebab dan makna saya katakan berserakan di jalan. Bolehlah dengan sebuah analogi, sebuah pohon jambu yang sedang meranggas di halaman rumah. Ia memasuki masa untuk melepaskan daun-daun untuk mengurangi penguapan yang terjadi. Daun-daun itu akan berjatuhan di halaman rumah. Tanpa beraturan area yang dijatuhinya. Searah hembusan angin akan membawanya kemana.
Ya, begitulah fenomena di sepanjang jalan raya jatiwaringin mulai dari perempatan kalimalang hingga pasar pondok gede. Tak kurang dari 30 orang pengemis, pengamen, dan tunawisma yang berlalu lalang dari pagi hingga malam hari. Mulai dari anak kecil hingga nenek-nenek. Tak ada wajah yang berubah dari biasanya, masih bisa saya kenali satu persatu dari mereka. Fenomena ini tak berubah sejak 6 bulan lalu dan bertambah banyak hingga hari ini.
Di Ramadhan ini, terlihat makin semrawut. Mereka berserakan di pinggir jalan, duduk di atas trotoar atau halaman parkir sebuah toko yang kosong. Mereka menunggu ada para dermawan yang bersedia memberikan segelas air atau sekotak nasi untuk berbuka nanti. Bila dapat berlebih, mereka akan gunakan itu untuk sahur nanti malam. Tak sedikit pula anak-anak kecil yang berlarian mendekati kepada siapa yang hendak dimintai uang recehan.
Bulan ini menjadi bulan tersendiri bagi masyarakat kurang mampu untuk mengais rezeki di jalanan. Ada pula diantara mereka yang dapat meraup penghasilan lebih dari 3-4 juta selama bulan puasa. "Itu baru dari kita muter aja mas. Belum lagi kalau udah mau lebaran banyak yang ngasih amplop sama kita di jalanan," jelas seorang ibu yang masih segar bugar bila dibandingkan dengan nenek disampingnya yang sudah tua renta sambil menyantap hidangan buka puasa yang diberikan oleh seorang bapak dari dalam mobil mewahnya.
Luar biasa penghasilan dari para pengemis ini. Pantas mereka sulit sekali diberantas oleh pemerintah, meskipun sudah disediakan berbagai macam fasilitas dan program untuk mereka. Banyak diantara mereka itu juga berprofesi sebagai pemulung, yang ketika hendak pulang melewati jalan jatiwaringin untuk menerima hidangan berbuka dari para dermawan. "Dulu kita ga pernah nunggu-nunggu begini. Cuma waktu itu ada yang ngasih makanan sama saya dan anak saya buat buka katanya. Ya sudah karena hampir setiap hari kita dapat lebih baik kita duduk nunggu saja nanti juga ada yang datang ngasih makanan buat buka. Daripada harus jalan capek, bawa-bawa barang pulungan," jelas seorang ibu kira-kira berusia 46 tahun bersama anak laki-laki berumur 11 tahun dan bayi perempuan yang digendongnya.
Meski Dinas Sosial DKI dari masa Fauzi Bowo hingga sekarang menggalakkan sosialisasi program Dilarang memberi dan membeli di jalan. Tetap saja akan ada tubuh yang "berserakan" menghiasi jalan-jalan untuk menunggu para dermawan datang memberi mereka makanan untuk berbuka atau sahur. Para pengemis pun berpindah dari perempatan jalan ibukota menuju jalan-jalan alternatif yang ramai dilewati kendaraan menuju daerah-daerah urban. Contohnya saja jalan raya jatiwaringin ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H