Mohon tunggu...
Christian Adi
Christian Adi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Persada Indonesia YAI

I am a psychology student at Universitas Persada Indonesia YAI. I am passionate about understanding human behavior and leveraging this knowledge to enhance organizational effectiveness. My academic background has equipped me with a solid foundation in psychological principles, research methodologies, and data analysis, all of which I aim to apply in human resources. I am particularly interested in talent acquisition, employee development, and fostering a positive workplace culture. Effective human resource practices can significantly contribute to an organization's success and employee well-being. Through my internship experiences, I have developed communication, problem-solving, and teamwork skills, which I am eager to further refine in a professional setting.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Waspada Pedofil dan Child Grooming Mengancam Anak-Anak di Game Online

30 Oktober 2024   10:33 Diperbarui: 30 Oktober 2024   10:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi via detikcom

Ruang cyber terutama game online saat ini bukan hanya diminati oleh orang dewasa, namun juga anak-anak. Tanpa disadari bahaya dapat mengintai, salah satunya bahaya yang datang dari predator seksual. 

Seperti yang kita ketahui, bahwa fitur yang tersedia dalam game online bukan hanya menyajikan permainan semata, namun memungkinkan user/pengguna saling berinteraksi dengan pengguna lainnya dari segala penjuru saat berlangsungnya permainan. 

"Kondisi ini membuka peluang bagi para predator seksual mencari mangsa anak-anak sebagai kelompok yang rentan. Melalui tipu daya/tindakan manipulatif, atau yang dikenal dengan istilah child grooming,"ujar Holy Ichda Wahyuni Pakar Anak UM Surabaya pada Senin (8/7/24)

Mengapa anak-anak menjadi kelompok yang rentan? Holy menjelaskan, anak-anak menjadi kelompok yang rentan karena anak-anak masih belum dapat berpikir kritis tentang konsep persetujuan (consent). 

"Anak-anak dapat dengan mudah terjebak pada bujuk rayu dengan iming-iming yang menarik bagi mereka, misal fitur game yang dapat mendukung permainan, hadiah, data internet, atau iming-iming lainnya,"imbuh Holy yang juga Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UM Surabaya. 

Kemudahan interaksi

Salah satu hal yang kerap luput dari pengawasan orang tua adalah kemudahan untuk menjalin komunikasi maupun relasi dengan siapapun melalui game online.

Kemudahan ini berisiko. Pasalnya, dengan kemampuan komunikasi dan proses berpikir yang masih berkembang, anak rentan dimanipulasi oleh orang dewasa yang ia temui di dalam game, sehingga tak jarang berujung pada kekerasan seksual.

Kasus terbaru terjadi pada seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sang anak yang masih berusia 13 tahun bertemu dengan pelaku kekerasan seksual berusia 27 tahun. Pelaku dengan tipu dayanya meminta korban mengirim foto vulgarnya.

Tentu hal ini merupakan kekerasan seksual karena korban belum mengenal arti dari consent untuk mengirimkan foto pribadinya. Sang anak juga berada di bawah pengaruh kuasa pelaku berusia dewasa. Aksi semacam ini tergolong sebagai perilaku pedofilia.

Ini terjadi, dalam kasus kekerasan seksual menggunakan perantara game online Free fire. Dalam kasus ini, pelaku mendekati korban dengan iming-iming diamond---alat tukar premium dalam game tersebut untuk membeli karakter, senjata, maupun mendapatkan item game eksklusif.

Lindungi Anak dari Pedofil di Game Online

Dalam konteks game online, orang tua perlu membatasi waktu anak dalam menggunakan ponsel (screen time). Orang tua dapat menerapkan aturan mengenai kapan dan berapa lama anak diperbolehkan bermain game. Tidak hanya itu, orang tua juga perlu mengawasi anak saat bermain game online, serta mengenalkan konten game yang sesuai untuk anak.

Orang tua bahkan dapat ikut serta menemani anak saat bermain. Hal ini dapat meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak, menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang tua, serta mengurangi dampak negatif dari aktivitas game.

Selain di rumah, sekolah pun dapat mengajarkan literasi digital, salah satunya melalui pembelajaran berbasis digital. Guru dapat mendorong kreativitas anak dengan memanfaatkan media digital, sekaligus mengajarkan anak untuk memanfaatkannya secara bijak. Guru juga perlu aktif mengawasi peredaran konten atau  game online di sekolah yang dapat mempengaruhi perilaku anak, seperti konten kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian.

Dengan memiliki literasi digital, anak akan memiliki kontrol diri yang baik saat beraktivitas di dunia digital, sehingga terhindar dari ancaman kejahatan, termasuk pedofilia.

 

Sources : UM Surabaya. (2024) Pedofil dan Child Grooming Mengintai Anak-anak di Game Online, Dosen UM Surabaya Beri Pesan Ini. Diakses 08 Juli 2024 dari https://www.um-surabaya.ac.id/article/pedofil-dan-child-grooming-mengintai-anak-anak-di-game-online-dosen-um-surabaya-beri-pesan-ini

Konde.co (2024)  Di Balik Popularitas Game Online, Predator Seksual Mengancam Anak-Anak. Diakses 23 Juni 2024 dari https://www.konde.co/2024/06/waspada-aksi-bejat-pedofil-di-game-online/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun