Budaya dan tradisi merupakan tulang punggung Indonesia. Oleh karena itu, kami memiliki dukungan penuh di belakangnya, semata-mata untuk mewujudkan solidaritas dan perdamaian di antara keberagaman di negara kami dan masyarakatnya. Kita juga punya undang-undang yang mendukung hal itu, yang kita kenal baik, yang tertulis didalam rekor catatan sejarah dan ditaruh bersama dengan Garuda Pancasila yang kita semua hormati, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Namun hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kita benar-benar mendukung penggabungan budaya lain? Pengamatan peserta dari Local Immersion berkata ya, hal ini terbukti benar.Â
Para peserta Local Immersion telah melaporkan dan mendokumentasikan keberhasilan penggabungan budaya yang terjadi di Desa Buntu, Wonosobo, menunjukkan kebersamaan dan ketentraman di antara banyaknya budaya yang menaungi desa tersebut.Â
Contoh yang baik dari hal tersebut adalah ketika para peserta menyaksikan sebuah pawai, di mana mereka menyaksikan pertunjukan Barongsai, bagian dari budaya China dan Kuda Lumping, bagian dari budaya Jawa.
Contoh lainnya adalah percampuran agama di desa tersebut, yang memiliki beragam agama namun tetap hidup berdampingan dan bahkan damai sejahtera, seperti yang bisa terlihat pada beberapa pasangan suami istri yang berbeda agama.
Terlebih lagi, ketika para peserta Local Immersion pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, mereka disambut dengan hangat dan diterima sebagai salah satu dari mereka selama mereka tinggal disana.
Meskipun mayoritas penduduknya adalah orang Jawa, mereka tetap bersedia belajar bahasa Indonesia internasional, supaya mereka bisa berkomunikasi dengan peserta Local Immersion yang akan tinggal bersama mereka.
Bisa terlihat dari observasi mereka bahwa bahasa Jawa benar digunakkan dalam berbicara hari ke hari. Dalam memesan makanan, dalam berbicara dengan satu sama lain, dalam memesan bahan baku dan lain-lainnya.
Hal tersebut bisa dilihat dengan jelas dalam event bazaar yang terjadi saat mereka sedang tinggal disana. Peserta Local Immersion juga menggunakan bahasa Jawa setempat untuk mempromosikan barang-barang bazaar mereka, yang berhasil menarik perhatian mereka.Â