PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau Insenerator Sampah) telah diinisiasikan sejak Juni 2006, dan mulai pendekatan ke warga khususnya di sekitar tapak proyek yaitu Perumahan Griya Cempaka Arum. Pendekatan dari Pemerintah dilakukan dengan melakukan kesepakatan tertulis dengan Ketua RT/RT setempat tanpa melibatkan warga secara umum. Dari situlah, mulai memunculkan kecurigaan warga yang akhirnya mengetahui proyek tersebut. PLTSa memang merupakan teknologi mutakhir yang dipelajari oleh seluruh ilmuwan di dunia, termasuk saya saat belajar Teknik Lingkungan. Namun banyak juga akademis yang memang meragukan teknologi tersebut karena konsep pembakaran suatu materi bukan lah hal yang baik, melainkan konsep cradle to grave atau 'kembali ke tanah' yang merupakan konsep yang lebih baik. Karena jika di bakar gas atau abu cenderung ke atmosfer udara, kalau tanah akan menambah materi-materi yang bermanfaat.
Secara teknologi, PLTSa merupakan teknologi mahal, karena membutuhkan tata ruang yang luas dan jarak dari pemukiman yang harus jauh (diperkirakan minimal 20 Ha dan radius 15 Km dari pemukiman), kebutuhan air yang luar biasa banyak (7 juta L/hari), perawatan maksimum, kesiapan sistem persampahan, sosial yang mendukung, dan peraturan pendukung serta SNI-nya. Dari kualifikasi dan syarat tersebut saja wilayah di Griya Cempaka Arum yang menjadi wilayah pilihan PLTSa di Gedebage, kota Bandung, masyarakatnya, serta Kebijakan yang ada saat ini tidak mendukung untuk adanya PLTSa atau Insenerator Sampah ini ada di kota Bandung. Terbukti sejak perencanaan peletakan batu pertama sekitar tahun 2007 lalu, hingga sekarang tidak pernah dilakukan, karena memang banyak halangan dan seharusnya tidak dilakukan, khususnya dari legalitasnya. Listrik yang dihasilkan juga hanya 6 MW, dan itu juga diperkirakan masih kotor, dikurangi pemakaian sendiri PLTSa tersebut, kalau dijual ke PLN pun, tidak begitu menguntungkan.
Dari analisa ekonomi, PLTSa yang nantinya akan dioperasikan oleh pihak swasta, untuk mencapai keefektifannya membutuhkan kalor suhu >800 derajat celsius dan 500 ton sampah. Dapat dibayangkan, butuh energi yang besar untuk membuat kalor tersebut dan masyarakat seolah-olah dibuat banyak membuang sampah karena harus mencukupi 500 ton sampah per hari, dan Pemerintah harus membayar 250rb/ton yang diolah, kalau kurang tetap bayar seharga 500 ton.
Sungguh disayangkan, 'teknologi instan' membuat Pemerintah tergiur akan proyek tersebut, dan sebagai warga Bandung yang baik dan tidak ingin kota kita tercemar, kita sebenarnya berusaha supaya Pemerintah Kota dalam hal ini, tidak jatuh dalam galian lobangnya sendiri. Saat ini di wilayah yang direncanakan dibuat PLTSa, sedang dibangun Stadion Gedebage, dan sepertinya untuk menutupi pembangunan PLTSa yang dilakukan paralel.
Sudah saatnya warga Bandung dapat berteriak untuk menjaga kelestarian lingkungannya, kita punya Hak, dan menjadi kewajiban kita jg harus memberikan solusi saat tidak menyetujui PLTSa tersebut. Solusinya adalah 3R (Pengurangan Sampah, Pemakaian Kembali, dan Pengolahan), dan kita harus bertanggung jawab akan sampah kita sendiri. Mari mengolah sampah dari sumber, dan sudah banyak sebenarnya kisah2 sukses tentang pengelolaan sampah, dan kurang terpublish.
Merdeka! Untuk Bandung dan Indonesia yang lebih lestari ..
---
Terima kasih untuk Pak Roni (Koordinator Warga Perumahan Griya Cempaka Arum yang menolak PLTSa), Bu Rena (Forum Kader Lingkungan/FOKAL dan juga warga GCA), Pak Gede (Dosen Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan Bandung), dan Natalina (kontributor artikel di Majalah Himpunan Mahasiswa Planologi ITB), atas info2 dan pandangan2nya terkait isu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H