Mohon tunggu...
christian atanila
christian atanila Mohon Tunggu... -

Nama pena saya Sang Mutarobbi, artinya sang pembelajar. Hobi saya membaca dan menulis. Hobi saya itu dituangkan dengan membuat perpustakaan pribadi "MOSLEM'S LIBRARY" dan mengelola blog http://sangmutarobbi.wordpress.com. Kini saya mengelola SMS Taushiah Harian dan Buletin MUTIARA HATI (Info: mutiarahationline.wordpress.com). Terus Berkarya.. Terus Memberi.. Terus Melayani..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN.. Ohh.. UN..

28 Mei 2011   18:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional telah lama berlangsung di negeri ini. Berganti nama, berganti pula kebijakannya. Berubah dari kurikulum yang satu ke kurikulum lainnya, meski hanya berubah nama karena pelaksana dan pembuat kebijakan di tingkat lapangan tak jauh berbeda. Dengan alasan memperbaiki pendidikan Indonesia, pemerintah memberikan batasan-batasan tegas pada setiap hasil dan tolak ukur. Setelah dikritik berulang kali akhirnya Ujian Nasional tak lagi menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa.

Beberapa hari lalu, diskusi dengan beberapa orang kawan guru. Mereka mengungkapkan bahwa mengajar di zaman seperti ini bila tidak memegang idealisme perubahan, maka akan tergerus dengan kepentingan oportunis yang dilakukan oleh ‘oknum’ penyelenggara pendidikan. Bayangkan apa yang akan dilakukan bila sebuah sekolah mendapatkan input siswa dengan kualitas yang di bawah standard. Saat mereka belajarpun akan menyulitkan acara pembelajaran bila seorang guru tidak memiliki teknik mengelola kelas yang baik. Belum lagi ditambah dengan guru yang tak sedikit menggunakan fisik sebagai cara penyelesaian.

Terungkap pula pada diskusi santai nan tegang itu, kalau guru-guru sudah mulai berubah kelakuan. Mereka ada saja yang bersikap enggan masuk ke dalam kelas padahal tak ada alasan untuk yang membenarkan. Diantara mereka ada yang beralasan kelasnya tidak bisa diatur. Ada yang berkata, “Saya sedang malas mengajar kelas itu. Berisik sekali kalau saya ngajar dan tidak ada mau perhatikan pelajaran saya. Tapi tenang saja saya sudah minta mereka mengerjakan tugas di buku halaman sekian.” Dan beragam alasan lain yang tersurat saat mereka tertangkap basah oleh guru lain tidak mengajar.

Bisa ditelusuri pengaruh dari kejadian kecil itu. Bila guru tidak masuk mengajar di kelas maka akan ada mis penyampaian materi dan itu berdampak sangat hebat pada perkembangan akademis siswa. Misal saja, bidang studi matematika untuk bab 1 seharusnya diajarkan selama 6 pertemuan. Jumlah itupun masih memungkinkan siswa belum paham materi di bab 1 tersebut. Bagi guru yang sudah mengajarkan sesuai saja tidak mudah agar tidak ada satu siswa pun yang mengikuti ujian remedial. Bagaimana jika 6 pertemuan itu tidak full diselenggarakan oleh pengajar?

Saat ini UN ditentukan oleh rumus NA = 0,6*UN + 0,4*NS. Yang menjadi pengaruh dari peristiwa di atas adalah NS (Nilai Sekolah) yang merupakan nilai gabungan antara nilai raport selama belajar dan nilai ujian sekolah. Semoga saja, siswa dengan pembelajaran seperti itu dapat meraih nilai maksimal untuk nilai sekolah ini agar tidak ada lagi ulah ‘oknum’ yang merugikan objektifitas output pendidikan Indonesia.

Belum lagi faktor lain yang melekat langsung pada sarana pendidikan dan kelayakan guru mengajar. Sarana pendidikan mesti mendapatkan perhatian serius dari pemerintah tanpa pandang bulu. Kalau daerah sering menjadi sasaran perhatian, maka cobalah untuk melihat sarana pendidikan di kota-kota besar. Kalau di kota besar saja tidak ‘terurus’ apalagi di daerah bahkan IDT?? Kemana dana pendidikan 20% itu digunakan oleh pemerintah?

Itu hanya sedikit dari permasalahan permukaan yang belum termasuk faktor dari internal siswa, program pendidikan, dan dukungan orangtua. Belum lagi sebuah fakta mencengangkan, siswa Indonesia khususnya SMA/K yang tidak lulus UN 2011 kemarin sebesar 11 ribu sekian, dan 70% diantaranya tidak lulus Bahasa Indonesia. Dan faktor lainnya, yang insya Alloh akan saya paparkan dalam tulisan saya yang lain.

Wajar mungkin, korupsi di Indonesia tak pernah berkurang dan hilang karena saat mereka menerima pendidikan ada pembelajaran korupsi yang diterima. Wajar mungkin, bila permasalahan Indonesia semakin menumpuk dan tak berkurang karena pemerintah kurang memperhatikan pendidikan. Perhatian lewat 20% dana pendidikan janganlah menjadi kedok untuk mengelabui masyarakat bahwa pemerintah telah memperhatikan, karena buktinya sekolah banyak yang rusak tapi bertahun-tahun tanpa renovasi. Andai saja pendidikan Indonesia diperhatikan penuh dan serius maka Indonesia ini akan berubah menjadi lebih baik karena dibangun oleh SDM yang berkarakter dan menguasai bidangnya secara professional. Semoga tak lama lagi itu terwujud….

Bangkit Pendidikan Indonesia!

Jayalah Indonesiaku!!!

***

Salam Perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun