Mohon tunggu...
Christhio G
Christhio G Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Demografi Negara Jepang

16 Juli 2015   09:02 Diperbarui: 16 Juli 2015   09:02 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[© Galina Barskaya | Dreamstime Stock Photos]

Populasi penduduk Jepang yang sekarang berkisar sekitar 127 juta orang sedang mengalami krisis dimana total fertility rate - rata-rata bayi yang dilahirkan untuk satu orang wanita - selama 40 tahun terakhir terus berada dibawah angka yang disarankan (2,07) untuk mempertahankan populasi yang sekarang. Total fertility rate menurut laporan survey yang paling terakhir diumumkan ialah 1,42 (1,42 bayi untuk satu wanita) pada tahun 2014. Angka ini merupakan angka yang tertinggi selama 17 tahun terakhir (kecuali tahun 2013 total fertility rate = 1,43), tetapi masih jauh dibawah angka yang disarankan (2,07).

Di sisi lain, berkat kecanggihan teknologi di dunia medis orang yang berusia 65 tahun keatas terus meningkat. Pada tahun 2013, penduduk yang berada di kategori itu berkisar sekitar 31,8 juta orang atau sekitar 25% dari populasi. Sedangkan anak yang berumur kurang dari 15 tahun hanya sebesar 13% dari 127 juta penduduk.

Berkurangnya jumlah orang yang mempunyai anak di Jepang merupakan persoalan yang sudah lama berusaha ditangani pemerintahan Jepang. Namun, sampai sekarang belum begitu membuahkan hasil. Tentunya, bukan hanya negara Jepang yang mengalami angka kelahiran yang terus menyusut. Negara-negara maju lainnya tidak luput dari persoalan yang sama, yang membedakannya ialah kebijakan masing-masing pemerintahan negara, pengaruh sosial dan budaya yang ada.

Kebanyakan alasan yang dikemukakan wanita untuk tidak mempunyai anak di Jepang dikarenakan sangat sulitnya bekerja dan mengurus anak secara bersamaan, seringnya suami tidak mau membantu mengurusi anak dan pekerjaan rumah tangga, mahalnya biaya mengurusi anak sampai kuliah, hilangnya kebebasan wanita untuk menikmati uang hasil kerja mereka dan tanggung jawab yang harus diemban seorang istri, serta kecilnya kemungkinan seorang wanita untuk kembali bekerja full-time di sebuah perusahaan setelah melahirkan. Alasan lainnya ialah sulitnya memasukkan anak mereka ke public daycare centers (tempat pengurusan anak) selama mereka bekerja, karena banyaknya jumlah anak yang masuk dalam kategori waiting list (daftar tunggu) terutama di Tokyo. Di Tokyo sendiri ada sekitar 7.257 anak masuk daftar tunggu, secara nasional kira-kira 25.000 anak masuk waiting list, pada tahun 2012.

Pengaruh dari berkurangnya jumlah bayi yang lahir di Jepang mempengaruhi orang lansia dikarenakan berkurangnya orang yang produktif bekerja, sehingga berkurangnya jumlah orang yang membayar pajak untuk membiayai pensiunan. Disamping itu, berkurangnya jumlah orang yang mengurus orang lansia menjadi tantangan tersendiri. Di Jepang, biasanya keluargalah atau relatif yang mengurus orang lansia, namun setengah dari pengasuhnya sendiri berusia lebih dari 60 tahun. Dengan kata lain, pengurus orang lansia dari keluarga mereka sendiri sudah tua dan lemah. Dan bertambahnya jumlah orang lansia yang tidak mempunyai pengurus dan tidak ada keluarga yang bisa mereka andalkan sudah menjadi persoalan tersendiri di Jepang.

Salah satu solusinya ialah dengan menggunakan jasa dari lembaga atau institusi. Namun, pemerintah Jepang memperkirakan masih kekurangan sebanyak ratusan ribu care worker atau perawat lansia. Setengah juta orang Jepang yang mempunyai lisensi berhenti bekerja di bidang itu. Ini menandakan pekerjaan ini tidak banyak diminati orang.

Sehingga pemerintah Jepang melakukan kerja sama dengan Indonesia dan Filipina melalui Japan's Economic Partnership Agreement (EPAs) untuk mengatasi keterbatasan jumlah care worker atau perawat di dalam negeri. Namun, untuk bisa menjadi perawat lansia di Jepang sangatlah susah karena calon perawat dan care worker harus mengikuti ujian nasional bersama negara lainnya (termasuk Jepang) untuk bisa melanjutkan bekerja di Jepang.

Perawat Indonesia harus mempunyai dua tahun pengalaman, sedangkan caregiver atau care worker diharuskan lulus dari ilmu keperawatan di Indonesia. Setelah lolos seleksi dan sebelum keberangkatan, mereka diberikan pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan. Setelah itu, setiba di Jepang mereka akan kembali mendapat pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan dan juga training di rumah sakit, klinik, maupun panti jompo. Disana mereka akan bekerja dengan status magang terlebih dahulu sebelum menjadi perawat atau caregiver. Perawat diperbolehkan tinggal di Jepang selama tiga tahun sebelum ujian nasional, dengan tiga kesempatan untuk lulus, sedangkan caregiver atau care worker diperbolehkan selama empat tahun dan satu kesempatan untuk lulus. Jika lulus, mereka diberikan tiga tahun visa dan boleh memperbarui sebanyak tiga kali.

Menurut buku yang penulis baca, hanya dua orang perawat Indonesia lulus pada tahun 2009, menunjukkan bahwa pemerintah perlu menambahkan jumlah kelas bahasa Jepang. Sampai tahun 2011, 63 dari 104 perawat yang datang pada tahun 2008 pulang ke tanah air karena masalah bahasa dan masalah lainnya seperti mereka tidak diberikan izin untuk melakukan perawatan seperti yang mereka lakukan di Indonesia. Malahan, perawat Indonesia di Jepang diberikan tugas yang tidak memerlukan pelatihan professional seperti memandikan pasien dan pengaturan meja.

Sulitnya menguasai bahasa Jepang, ujian yang ketat, dan kemungkinan dikirimkan balik ke tanah air kalau gagal lulus ujian nasional menjadi hambatan untuk mengatasi persoalan caregivers dan perawat di Jepang. Mengutip dari Kompas.com "tingkat kelulusan para care worker Indonesia di Jepang mencapai 65,7 persen. Namun, sayangnya tingkat kelulusan untuk perawat masih di bawah 10 persen". Ini menunjukkan program pemerintahan Jepang yang masih gagal dan kurang dimanfaatkannya skill pekerja asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun