“Keberhasilan” Timnas Indonesia di Piala AFF Tahun ini, saat “selamat” dari kekalahan melawan Laos dan “menjungkalkan” Singapura, wajar disambut dengan gembira. Euforia! Harapan agar Tim Garuda menorehkan prestasi naik kembali dan memunculkan puja-puji. Meskipun ada juga pihak-pihak tertentu di negeri ini yang terlanjur berada pada “kubu” yang “tak gembira” dengan kemenangan itu karena “kisruh” di kepengurusannya, ungkapan-ungkapan bernada “tetep seperti semula” tampak tenggelam dalam fakta yang sekarang ini ada. Fakta kemenangan Tim Garuda atas tim kuat Singapura.
Harapan boleh ada. Optimisme layak dimunculkan. Namun, alangkah baiknya, ungkapan gembira dan mungkin bangga itu jangan sampai berlebihan. Kenapa demikian? Karena kita tahu, timnas kita masih banyak memiliki kekurangan. Sanjung dan puji, apalagi jika dengan tujuan memancing/membalas emosi pihak senegeri yang berseberangan, sebaiknya disingkirkan. Hal itu akan membawa pada sikap lupa bahwa perjalanan masih panjang, harus kembali membenahi segala kekurangan.
Bisa jadi, sekarang saatnya selebrasi. Namun jangan lupa untuk kembali berkonsentrasi. Bukan hanya timnasnya, namun juga kita sebagai suporternya. Ingat! Dari generasi ke generasi timnas yang kita punya, seringkali tak tahan dengan “pujian”. Beberapa kali terjadi, saat harapan rakyat dan suporter negeri ini begitu tinggi, dengan begitu “masif”nya puja-puji, timnas kita malah “ngehek” pada laga-laga selanjutnya. Bahkan saat laga itu merupakan “puncak” prestasinya. Yang terakhir saya ingat, saat Piala AFF sebelumnya. Tim Garuda yang komposisinya bisa dikatakan lebih baik dari yang sekarang, terlihat perkasa di babak sebelumnya, namun “mbleber” saat final. Kalah telak dari Malaysia yang justru di babak sebelumnya kita cukur dengan lumayan.
Memang, jika sepak bola dikaitkan dengan sejarah tim, boleh dicatat, ini rekor saat kita tak menang melawan Laos. Demikian juga rekor saat mampu mengalahkan Singapura. Namun ingat, ada pula sejarah penting yang selama ini belum tampak terpecahkan. Dari generasi ke generasi. Seperti “penyakit laten”, Timnas kita tak tahan dengan “pujian”. Tampil lumayan pada babak-babak awal, kenyang pujian, lalu terkapar di penghabisannya. Anti klimaks.
Garuda boleh terbang tinggi dalam selebrasi, juga kita para suporternya. Tapi jangan lupa untuk mendarat lagi, karena perjalanan masih panjang. Rekor “khusus”, tahan dengan pujian, harus juga terpecahkan. Begitu juga dengan suporternya, rekor untuk tak “kebablasan” dalam memuji.
Salam sepak bola.
.
.
C.S.
Tak lebih dan tak kurang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H