Ketika Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dahulu tampil mencalonkan diri menjadi calon presiden, prediksi bahwa ia akan mendapat dukungan rakyat telah nampak. Dengan “kendaraan” kecilnya, Partai Demokrat, ia berhasil menjadi Presiden pertama buah dari sistem pemilihan langsung dengan dua putaran. Pada periode kedua, ia bahkan mampu terpilih kembali menjadi presiden dalam satu putaran. Apapun polemik tentang sukses tidaknya dia pada masa-masa kepemimpinannya, paling tidak SBY tercatat dalam riwayat Presiden RI yang memunculkan harapan rakyat, terpilih secara demokratis dan masuk dalam daftar Presiden RI yang lama memimpin. Kalau boleh dicocok-cocokkan dengan “ramalan” Jayabaya, dia menjadi bagian dari “pakem” sosok yang memang digariskan memimpin nusantara. “NoToNoGoRo”, SoekarNo, SoeharTo dan Soesilo Bambang YudoyoNo.
Tentunya Saya tak ingin jauh membahas masalah ramal-meramal itu. Yang ingin lebih ditekankan di sini adalah sebuah “warning”. Hal ini mengingat agenda pemilu/pilpres semakin mendekati waktunya, hanya tersisa waktu kurang lebih dua tahun lagi, namun sampai saat ini belum juga muncul sosok-sosok yang mampu “merangkul” hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukan muluk-muluk mengharapkan munculnya tokoh negarawan. Tapi, paling tidak calon yang digadang mampu memimpin dan diterima rakyat dari banyak kalangan di negeri yang heterogen ini.
Memang, beberapa tokoh atau politikus/petinggi parpol ada yang secara terang-terangan ataupun malu-malu kucing hendak mencalonkan diri. Namun, belum ada yang diprediksi akan diterima secara mutlak oleh rakyat. Ical (ARB), Prabowo, Megawati, ataupun Yusuf Kalla, tampak jelas hanya memperoleh potongan-potongan dukungan. Berapa persen masing-masing prediksi elektabilitas mereka? Mereka bersaing dalam hal “kecil”nya suara. Tak pelak, jika nantinya mereka yang maju, hampir mustahil akan berlangsung satu putaran saja. Jika bukan kegaduhan politik yang dikuatirkan terjadi, pelaksanaannya akan menyedot banyak biaya.
Demikian juga nama-nama yang di”kata”kan pantas maju. Mahfud MD, Sri Mulyani, Dahlan Iskan ataupun yang lainnya. Jokowi? Sepertinya belum, ia masih konsen membenahi Jakarta. Sampai dengan dua tahun menjelang ini belum jelas apakah mereka akan dicalonkan/mencalonkan diri. Jikapun iya, dapat diyakini hanya menjadi bagian dari kepingan-kepingan suara itu. Bagaimana dengan “satria piningit”? Kaum muda? Mana?! Ah, menurut saya kalaupun dia ada, sangat tak mungkin untuk dipilih. Satria yang pantas memimpin negeri tak ada gunanya jika “piningit”. Untuk apa berpotensi kalau tersembunyi? Yang kita butuhkan adalah satria/pemimpin yang menampilkan diri. Jika disesuaikan dengan konteks sekarang, dua tahun ini adalah masanya untuk memunculkan diri.
Memang, tingkat keterpilihan yang tak mutlak itu diyakini membuat mereka/mesin politiknya “bergerak”, akan tetapi yang terbaca memprihatinkan adalah upaya-upaya memunculkan diri itu cenderung menggunakan pola semata pencitraan demi pencitraan. Bahkan diperparah dengan berusaha meningkatkan citra dengan menjatuhkan citra yang lainnya. Ramai serangan, lontaran tuduhan ataupun dugaan yang tentu saja dapat menjadi diragukan niat baiknya. Media massa yang telah bergeser dari peran yang diharapkan tampak dengan “lahap” memanaskannya. Dapat ditebak, yang terjadi adalah polemik yang samar ujung pangkalnya dan menghabiskan energi yang besar. Rakyat diberikan suguhan petinggi-petinggi dan pilar-pilar negeri yang “adu jurus” saling menjatuhkan di sekeliling substansi masalah. Belum nampak adanya itikad baik yang sama-sama “kosong-kosong” berniat mencari dan menyelesaikan substansi yang menjadi sumber konflik, demi perbaikan itu sendiri.
Ketika sampai saat ini “SBY” selanjutnya itu belum juga muncul, pihak yang mencalonkan diri minim dukungan, tak ada sosok yang diprediksi mampu diterima seluruh kalangan, energi dihabiskan hanya untuk pepesan kosong pencitraan, maka gejala yang dikuatirkan akan muncul adalah “keputusasaan” rakyat dalam mencalonkan/ menjatuhkan pilihan. Putus asa ini rawan menimbulkan apatisme. Tiadanya harapan mendorong rasa tak peduli. Bodo amat, “luweh-luweh”, cuek siapa yang akan menjadi pemimpin/ presiden nanti.
Salah satu contoh gejala itu mulai terlihat. Kita boleh saja “meledek” Rhoma Irama yang katanya hendak mencalonkan diri menjadi presiden nanti. Di luar sinisme massa yang terlihat “menolak” karena dipandang ketidaklayakannya, satu hal yang perlu juga dicatat adalah sebuah cara pandang bahwa majunya raja dangdut ini merupakan “sindiran” keras kepada para tokoh lain/politikus ataupun negarawan (kalau ada). Rhoma Irama bisa dijadikan “wakil keputusasaan” rakyat yang sampai sekarang belum menemukan calon yang layak. Tentu saja hal ini dengan mengesampingkan terlebih dahulu kemungkinan artis ini memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Bukan tak mungkin, rasa apatis, cuek, tak peduli dari rakyat karena hilangnya harapan itu tidak hanya terwujud dari tingkat golput yang tinggi nanti. Kalau para petinggi atau siapapun tokoh yang secara “standar” mayoritas rakyat pantas memimpin negeri ini tak juga muncul, jangan salahkan kalau nantinya rakyat menjadi “tengil”. Dari tengil itu menjadi “iseng”. Kehendak “luweh-luweh” itu bisa muncul, secara massal. Apa bedanya politikus-politikus itu dengan “artis”? Kalau hanya begitu, “gue juga bisa”!
Ini baru Rhoma. Kalau rakyat mulai terpancing isengnya, bisa jadi akan muncul capres-capres “iseng” lainnya. Ahmad Dhani, Anang, Agnes Monica, bahkan Ariel “Noah” pun memiliki massa dan penggemar yang tergelitik untuk mencalonkannya karena tiada lagi pilihan, atau melihatnya sebagai “sama saja”. Jika ARB, Prabowo ataupun Megawati diadu dengan artis-artis itu, yakinkah mereka akan menang satu putaran? Belum tentu. Apalagi kalau tingkat keisengan rakyat sudah sedemikian tinggi. Akankah negeri ini menjadi Republik iseng? Bukankah iseng belum tentu berhadiah?
Salam negeri.
.
.
C.S.
Serius,..ini iseng..tapi serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H