Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuan Besar Kesurupan

17 Januari 2012   05:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13267773351722654319

[caption id="attachment_156140" align="aligncenter" width="635" caption="from google/herritage.worpress.com"][/caption]

Siang yang mendung dalam rintik hujan. Rumah mewah Tuan Besar Sugihbondo tampak ramai. Pelatarannya yang luas mangantar tampak riuh dengan tepuk tangan dan decak kagum para pengunjung. Mereka yang terdiri dari andahan, para tamu agung dan juga penduduk jelata disekitar tempat tinggal Tuan Besar ini menikmati suguhan “Jathilan” atau “Jaran Kepang” yang bahasa kerennya adalah “Kuda Lumping”. Tuan Besar Sugihbondo sedang merayakan pesta tutup tahun.

Ning..!..nong! ning!..nung!...plak!..ketuplak!...dang!..dang!. Bunyi gamelan berpadu rancak. Nyaring berpadu kumandang pencon bonang dan tepukan Gendang. Berbaur dalam irama klenengan.

Werr..! wuss...!..ctar!...ctaaarrr! , cemeti meliuk menyambar udara dan keluarkan bunyi getar, laksana petir. Cemeti yang dipegang tetunggul/pemimpin para penari jaran kepang. Mereka indah menari, gerakan berirama bersama, mengempit kuda tipis yang terbuat dari kepang (anyaman bambu).

Gedubrak! Seorang penari, lelaki berbadan kurus berkulit kelam menggelepar. Tampaknya dhemit pertama masuk ke raganya. Dia mulai mendem, kesurupan.

Ning..!..nong! ning!..nung!...plak!..ketuplak!...dang!..dang!.

Gamelan semakin riuh menghentak, tontonan mulai merangkak mendebarkan. Tempik sorak orang-orang di sekeliling kalangan bersahutan, tahap yang menjadi gong-nya sudah sekian lama ditunggu. Penari kurus itu mulai menari liar. Matanya kosong dan tubuhnya tak lelah terus berputar. Melompat, meliuk dan juga menghentak dalam gerak tari.

“Wuaaaah!, penonton terpana, penari yang mendem ini mengunyah pecahan beling, setelah sebelumnya memakan kembang. “ Klethak..klethuk!..kriuk!..kriuk!”. Seperti menikmati keripik singkong saja, kelihatannya. Bukan hanya itu, lalu dia mengupas kelapa dengan mulut dan telanjang tangan, giginya pasti menjadi sekuat macan.

Setelah waktu dikira cukup, lelaki berkain hitam masuk ke kalangan/ arena. Dia adalah pemimpin rombongan tari, merangkap dukun yang menyembuhkan. Mengusir keluar sebangsa dhemit yang masuk ke raga si penari, yang sepakat bersedia menjadi tontonan.

Dan. “Berrrr!!!...., sekali sembur penari mendem itu menggelimpang berkelojotan, roh itu keluar dari badan. Dan Ia kembali sadar, dengan tubuh lemas kecapaian.

Tiba-tiba pelataran itu menjadi heboh. Hingar bingar! Tampak Tuan Besar dan para anak buahnya masuk ke dalam arena, menari liar ikuti suara gamelan. Dhemit-dhemit antah berantah merasuki jiwa mereka. Meski sekejap terpana, pengunjung tetap riuh bertepuk tangan. Ini pertunjukan abadi sepanjang jaman.

Sang dukun terhenyak dalam kekhawatiran, dhemit-dhemit atau setan-setan itu belum dia kenal. Yang jelas bukan seperti setan-setan yang biasa merasuki penari-penari kurus anak buahnya, yang mau mendem karena terpaksa.

Ning..!..nong! ning!..nung!...plak!..ketuplak!...dang!..dang!.

Tuan Besar dan anak buahnya yang mendem berjingkrakan. Mata mereka nyalang mengerikan. Sodoran kembang dan kelapa ditolak mentah-mentah, apalagi beling pecahan kaca, mereka tak doyan rupanya. Tampaknya itu bukan kesukaan mereka, bukan seperti penari kurus sebelumnya.

Ning..!..nong! ning!..nung!...plak!..ketuplak!...dang!..dang!.

“Wuaduh!...Jangan!”.

Teriakan pedagang buah yang ikut menonton itu tak berguna. Anak-buah Tuan besar yang kesurupan itu serakah menjarah dagangan apelnya. Apel Malang dan apel merah dengan lapar mereka telan. Sebagian lagi mereka genggam dan berikan kepada Tuan Besar mereka, lalu dikunyah nikmat, ada pula yang dilemparnya ke penonton. Ingin bagi-bagi, mungkin itu maksud dhemitnya.

“Ctar!..Ctaaarrrr!!. Tuan besar memainkan cemeti, seolah aba-aba untuk para anak buah mengikuti gerak tari. Dan mereka terus menari, tanpa lelah berputar melingkar di arena, seiring suara gamelan yang ternyata mulai lemas penabuhnya.

Tapi tarian mereka sudah terlalu lama, penonton pun mulai jenuh dibuatnya. Sang dukun pun berusaha masuk ke arena. Tapi apa daya, semburan air dari mulutnya tak mempan. Tuan besar dan para anak buahnya tetap berlaga dengan tarian liar, yang lama-lama membosankan. Hanya berputar, bergoyang, dan terkadang saling lempar, apel-apel yang tak pernah membuat mereka kenyang.

Sang Dukun lalu harus meminta bantuan beberapa penonton untuk menyergap mereka. Dia pikir agar mudah mengeluarkan dhemit-dhemit yang liar menari. Tapi sepertinya sia-sia.

“ Berrrrr!...”, Sang dukun tetap berusaha menyembur. Kali ini tepat di muka Tuan Besar yang bermata nyalang. Tak ada perubahan, hanya kepalanya yang bergeleng-geleng melecehkan.

“ Gimana Mbah!...berhasil?”. Teriakan penonton mulai tak sabaran, hari sudah mulai sore.

“ Gagal nih!..Susah banget! Dhemitnya buandelll....!”, Jawab Pak dukun.

Lalu dicoba lagi.

“ Berrrrrrr!!!...”. Masih gagal, Tuan besar hanya menyeringai. Sang Dukun kesal.

“ Keluar !!... Siapa kamu!”

“ Tidak mau. Grrrr...Herrrmm......, Aku setan kuburan”, bergetar jawab Tuan Besar.

“ Iya!...Aku tahu!..tapi aku tidak kenal kamu. Setan keder, setan gombel, setan jahanam atau setan apa...ha!”.

“ Herrmm...bukan.....”.

“ Lalu setan apa?”.

“ Herrmm.....Aku setan “Proyek”....”.

Pak Dukun garuk-garuk kepala. Dia belum memiliki mantra atau doa yang manjur untuk mengeluarkan setan aneh tapi bandel itu. Terpaksalah Tuan Besar dan anak-anak buahnya tetap dibiarkan kesurupan, menari liar tak karuan, meskipun tak ada lagi tabuh gamelan.

Entah tenaga dan kekuatan apa yang mereka punya, seperti tak pernah lelah dirasakannya. Meskipun hari mulai malam, bahkan menjelang pagi mereka tetap terlena dalam tarian, serasa terbuai kenikmatan.

.

.

jan/2012

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun