Untuk menyuarakan protes atas suatu peristiwa, kebijakan atau sejenisnya, jamak ditemui para pengunjuk rasa melakukannya dengan aksi yang bersifat “simbolis” atau “teatrikal”. Dalam arti, pesan-pesan ketidaksetujuan yang bersifat meminta perhatian itu tersirat dalam pertunjukan yang dilakukan itu. Misalnya: aksi membenamkan diri dalam lumpur untuk menunjukkan penderitaan rakyat Sidoarjo, membawa keranda mayat sebagai simbol matinya nurani, memberikan ayam betina guna menyindir kepengecutan dan sebagainya. Harapannya, agar pihak yang dituju terketuk dan cepat mengerti pesan yang dikehendaki.
Demikian juga untuk aksi protes wanita yang memilih bertelanjang dada. Biasanya,..biasanya..lho, aksi semacam ini memiliki makna tersirat berupa ungkapan protes yang berkaitan dengan “gender”. Bisa mewakili ungkapan para wanita yang ingin agar benar-benar diperlakukan sebagai wanita, merasa terkekang kebebasannya/persamaan haknya. Contooohnya, kira-kira seperti...: gerakan mengajak wanita memberikan ASI pada anak, tak setuju karena terlalu di atur-atur dalam berbusana atau protes ingin disamakan haknya terhadap laki-laki (laki-laki “tak masalah” bertelanjang dada, wanita juga, doong....).
Intinya, aksi simbolis itu sebaiknya jelas apa maknanya serta mudah dimengerti oleh yang dituju. Tak seperti aksi wanita telanjang dada berkaitan relokasi warga bantaran Waduk Pluit Jakarta. Mengutip berita dalam Kompas.com (15 dan 16/5/2013), pada Minggu (12/5/2013) lalu, warga melakukan aksi sweeping alat berat di bantaran Waduk Pluit. Mereka khawatir alat berat tersebut digunakan untuk melakukan pembongkaran di rumah mereka. Saat aksi digelar, tiba-tiba seorang wanita nekat membuka bajunya hingga bertelanjang dada. Dia menolak rencana penggusuran permukiman penduduk di bantaran waduk tanpa ada sosialisasi. Saat ini, sekitar 20 orang anggota Satpol PP wanita ikut melakukan penjagaan di sekitar Waduk Pluit. Penjagaan tersebut untuk mengondisikan warga dari kalangan wanita dan anak-anak yang berada di sekitar pengerukan Waduk Pluit. Selain itu, penempatan Satpol PP wanita juga sebagai upaya antisipasi aksi telanjang dada terulang kembali.
Tampak bahwa aksi wanita telanjang dada itu “nggak nyambung”, apalagi kalau benar-benar dilakukan dalam pola “gerakan” (bersama-sama). Apa hubungannya wanita “wudo” dengan protes rencana penggusuran? Maka, wajar kalau Wagub Basuki (Ahok) merasa “bingung”. "Kita sudah dengar lama kok dari intel kalau ada gerakan seperti itu. Ya, bagi kita sih itu perbuatan yang sebenarnya lucu. Kalau mau telanjang-telanjang seperti itu, apa yang salah dari kita?" tegas Basuki.
Bisa dinilai, jika unjuk rasa dengan cara wanita telanjang dada itu adalah pengungkapan “simbolis” atau “teatrikal” yang gagal. Sebab jelas-jelas akan membuat masyarakat umum, bahkan pihak yang secara langsung dituju sulit mengerti apa maksud serta relevansinya. Tak salah juga jika dinilai itu bukan aksi simbolis, tapi spontanitas saja yang berbau “pameran” dan sulit diterjemahkan.
Sebuah hal yang cukup disayangkan dari Kompas.com dalam menyajikan berita ini, yakni..tidak melengkapinya dengan foto.
Salam teater.
C.S.
referensi opini ini dari:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H