: Chris Suryo
.
[caption id="attachment_161137" align="aligncenter" width="300" caption="image from google"][/caption]
Sebenarnya masih senja, namun karena sejak pagi cuaca mendung dan hujan mengguyur menjadikan hari seolah telah memasuki malam, temaram. Meski sudah mulai reda namun gerimis masih menerpa, kabut pun ikut bergerak membungkus udara kota kecil yang yang tak jauh dari lereng Merapi ini.
Kuliah hari ini telah usai, dengan penuh semangat, aku turun dari angkutan kota yang kunaiki. Ini karena aku ingin segera sampai ke rumah kecil nan asri di ujung jalan itu. Rumah bercat hijau muda dengan halaman kecil penuh rerumputan segar. Juga anggunnya pohon cemara kecil yang ramping menguncup membiaskan aroma kesegaran. Dan yang paling indah adalah seseorang yang menghuninya. Wanita manis berparas ayu yang usianya 15 tahun di atasku. Dia adalah Tante Uning, perempuan mandiri yang selama ini menghiasi hari-hariku. Begitu bahagia aku menjadi kekasihnya.
Masih kuingat, seolah seluruh bunga merekah penuh warna serta burung-burung di taman berkicau riang, saat pertama kali aku gugup menyatakan cinta padanya. Ketika itu wajahnya semakin manis meski ada sedikit rona, saat tersenyum tulus dia katakan menerima. Ah, indah sekali dunia kurasa. Seolah setiap hari adalah canda tawa, semangat di jiwa, dan tentu saja pernak pernik mesra.
Hanya dia yang mampu membuatku mengakhiri seluruh jalinan tak jelasku dengan gadis-gadis kampus yang selalu saja tak lama kami jalani. Aku dan beberapa di antara mereka yang seringkali mesra di awal namun penuh pertengkaran di ujung kisahnya. Tante Uning sungguh berbeda, kali ini aku benar-benar merasakan apa itu cinta.
Ada gelora besar membuncah di dada, yang membuatku bergairah menjalani hari-hari. Meski tugas-tugas dan jadwal kuliahku begitu padat, namun semua mampu aku lewati dengan riang dan hasil gemilang. Semua karena hadirnya Tante Uning, kekasihku yang pertama kali kukenal saat aku dan teman-teman kampus menghimpun dana amal mengunjungi perusahaan tempat dia bekerja. Yang pada awal jumpa aku begitu kagum dan terpesona akan anggun sosok serta kemapanan kariernya.
Sebelumnya juga aku tak percaya ketika dia katakan belum memiliki pendamping atau kekasih. Mungkin hanya mengira-ira, tak mungkin tak ada lelaki yang menaruh hati padanya, dia begitu mempesona. Sepertinya, jarang yang bernyali mengungkapkan rasa padanya ataupun mampu menarik hatinya. Tapi, apa mau dikata, ternyata hanya aku. Lelaki muda yang terlanjur berdebar tiap dekat dengannya, dengan nekat berani menyatakan rasa. Dan,..oh ingin terbang rasanya, karena dia memiliki rasa yang sama. Meski kami beda usia.
Langkahku mendadak berhenti, saat aku mengenal mobil yang keluar dari halaman rumahnya. Itu mobil orangtuaku. Kulihat papa dan mama tampak murung dari kaca jendelanya. Aku tak tahu, ada kepentingan apa mereka berkunjung ke rumah Tante Uning, kekasihku. Kusembunyikan sosokku di balik daun-daun cemara, air hujan yang sempat tersimpan di daunnya membusai rambutku, membuatnya lusuh dan semakin basah. Tentu saja aku tak ingin mereka melihatku, aku tahu selama ini mereka tak berkenan dengan hubungan kami. Oh, Pa, Ma, kalian tak tahu betapa wanita ini sangat berarti bagiku.
“ Ya, ampuun! Kamu kok hujan-hujanan sih?” Suara lembutnya menyeruak ketika membuka pintu rumahnya.
“ Nggak papa, Tante. Ssst...ngapain papa dan mamaku tadi?”
“Siapa?”
“ Ah, aku melihat mobil mereka kok”
“ Ohh,..hanya main saja”, kekasihku ini berusaha menyembunyikan gundah yang aku yakin ada. Sedikit banyak aku telah mengenal setiap perubahan raut wajahnya, dengan segala suasana hatinya. Meski senyum teramat manis itu tetap tersungging indah, hatiku mampu membaca, begitu berat ia melakukannya.
“ Bohong..”, Suaraku mulai tidak percaya.
“ Heh! Kok gitu sih? Nih, dipakai handuknya, biar nggak pusing”, dia menyodorkan handuk yang aku tahu sekaligus untuk mengalihkan bahan bicara. Sesaat, aku membusai rambut basahku dengan handuk beraroma wangi yang sangat kusuka, juga jemari lembutnya membantu mengusap lusuh rambutku.
“ Ayo dong. Katakan, ngapain mereka ke sini?”
“ Sudahlah, emang salah kalau mereka ingin menengok calon mantu?”
“ Ah, ngapain sih pake nutup-nutupin?”
“ Ngapain juga pengin tahu melulu?, rahasia tahu..”
Aku tak bertanya lagi. Cukup mengerti jika dia sedang tak ingin mengatakan, tak mungkin ia katakan, meskipun itu sebuah beban sekalipun. Inilah yang selama ini begitu ingin aku runtuhkan. Pembawaannya sebagai wanita yang kukenal tangguh dan mandiri, seolah ingin menyimpan segala resah yang memberatkan. Ah, Tante Uning. Tak sedikitkah kau titipkan sebagian saja bebanmu padaku? Bukankah aku kekasihmu?
“ Mau nambah tehnya?”
“ Sudah, ah. Kita keluar yuk, jalan-jalan”
“ Nggak, ah. Lagi males, aku bawa kerjaan dari kantor”
Ah. Begini lagi, selalu cara ini yang ia gunakan jika ingin agar aku segera pulang.
“ Hmmm. Ya, udah deh Ibu Manager, Saya pulang”
“ He..he, gitu dong sayaaaang, jangan ngambeg lah, banyak tugas kuliah kan?”
“ Nggak, tuh, nggak ada tugas kuliah, kok”
“Emmm, tapi sudah malam..”
“ Iya, iya,...tapi....”ongkos”nya dulu”, bisikku sambil memberikan kode bibir.
Entah mengapa, malam ini aku begitu mudah mendapatkan darinya. Permintaan nakal yang selama ini selalu sulit diberikannya. Jika berhasil seringkali hanya sekilas ciuman di pipi serta sekejap kecupan dari bibirnya yang segar merona.
Tapi, kali ini aku agak terhenyak dalam nikmat yang penuh rasa heran. Tante Uning begitu erat merengkuhku dalam peluknya. Cium serta kecupnya seolah tak henti dia berikan. Meski sekejap namun aku kelu, kurasa ada sedikit yang menggenang di matanya, juga selintas isak yang ditahannya. Ah, ada apa ini? Hatiku penuh tanya.
“ Tante Uning,..kenapa?”
“ Oh,..maaf,..maaf,..nggak papa, pulanglah.....,Sudah malam”
Aku berjalan menyusuri halaman, dia melambaikan tangan mengiringiku pulang. Meski malam ini hujan telah berhenti, namun rasa dingin itu terasa semakin menusuk. Ada hampa yang kurasa di sudut hati.
***
Firasatku ternyata terjawab, meski masih menyeruak berjuta tanya dan ngilu tak terperi. Aku tak tahu apakah harus sakit hati ataukah memaklumi. Yang jelas, rasa rela itu sulit sekali menghampiri. Aku patah hati.
Itu karena Hari-hari berikutnya kutemui kenyataan bahwa Tante Uning telah pergi. Rumah yang selama ini dia tempati dan menjadi tempat kami merajut cerita telah berganti penghuni. Tante Uning? Tak ada yang bisa memberiku jawaban, tentang dimana dia sekarang. Meskipun beberapa waktu aku tak putus asa mencari, bahkan menuju ke tempat dia bekerja selama ini, hanya keterangan bahwa dia telah resign, berhenti bekerja di sana. Tak ada juga yang tahu dimana tempat kerjanya yang baru.
Dalam risauku, seakan tak ada lagi tempat tumpahan marahku. Siapa lagi jika bukan papa dan mamaku. Dengan bergetar mereka kudesak untuk mengatakan, apa yang telah mereka lalukan? Apa yang mereka lakukan pada kekasihku, malam itu. Namun papa dan mama hanya terbata meminta maaf padaku, “ Kami bukan sekejam itu ingin memisahkan kalian, Nak. Waktu itu kami hanya mengatakan padanya, untuk menimbang ulang hubungan kalian. Hanya itu”.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan tiga tahun berlalu. Sejak hubunganku dengan papa dan mama memburuk hingga perlahan mencair kembali, rasa rindu itu tetap memenuhi seluruh ronggaku. Sekian lama waktu kucoba untuk mengerti, mengapa Tante Uning pergi. Apakah karena cintanya padaku atau karena terpaksa,..ah..tentu saja karena keduanya.
Akhirnya menyerahlah segala yang kurasa, aku harus merelakannya. Mungkin misteri dan rindu ini akan sedikit terobati, jika aku berkesempatan bertemu lagi, meski tak bermimpi lagi untuk memiliki. Aku akan tersenyum bahagia, saat melihatnya bahagia dan baik-baik saja, entah dengan siapa ia mengarungi hidupnya.
Oh, Tante Uning, kekasihku. Aku masih ingat saat hari-hari penuh warna cinta, warna merah muda seperti saat ini. Kita berdua bekisah mesra di sofa lembut rumah mungilmu, kau begitu suka saat pemutar musik itu melantunkan lagu merdu, lagu yang akupun begitu suka saat itu. Meski saat ini kurasa sangat menyeruakkan kesepian karena nyata kehilanganmu.
Uning,....indah sekali nama itu, seindah sejatinya cantikmu, saat kusebut tanpa sapaan penanda usia, yang aku yakin menjadi sebab kejamnya perpisahan kita. Aku telah tersiksa untuk berusaha rela, hanya ingin bertemu serta melihatmu bahagia. Hingga sekarang kau tetap hadir, meski hanya dalam mimpi-mimpi malamku.
“ It was destiny’s game, for when love finally came on
I rushed in line only to fine that you were gone wherever you are i fear that i might have lost you forever, like a song in the night now that I’ve loved again, after a long, long while I’ve loved again . beautiful girl, I’ll search on for you till all of your loveliness in my arms come true you’ve made me in love again, after a long, long while in love again and I’m glad that is you… beautiful girl..”
***
. . 14/02/2012 C.S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H