Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senandung Doa, Surya, dan Senja

11 Oktober 2013   17:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah yang lalu..

Senjaku, kekasihku. Biarkanlah manis, kita berbeda. Jangan diubah biarkan saja. Meski surya tenggelam saat senja. Datangnya malam hanya melengkapi guratan waktu saja. Entah cerah atau mendung ketika fajar, surya dan senja akan tetap saling mengasihi juga, meski tak selalu harus bersama. Ah,..kami akan tetap bersama, apapun bentuk kebersamaan itu.

-------

Dan kini, seperti yang lalu, hari pun benar-benar telah senja juga. Bayang-bayang temaram perlahan menyapa. Malam akan segera tiba. Duduk sendiri di sini, di teras rumahnya. Menanti Senja, kekasihku yang tengah berpasrah dalam ibadahnya. Tetap pada sosok rahasia, yang selama ini menjadikan kami berbeda. Perbedaan yang membuat kami tetap tak sepenuhnya mengerti. Entahlah, apakah kami harus menyesali ataukah bersyukur karenanya. Ah, aku yakin ini bukan pengulangan masa, apalagi reinkarnasi. Tapi, suasana senja sekarang kurasa begitu serupa dengan sebuah senja di tahun yang telah berlalu. Waktu demi waktu yang kami lewati bersama. Bahkan keresahan-keresahan antara aku dan Senja pun, mampu kurekonstruksi ulang, meski tak semua terungkap dalam kata demi kata. Semua terbaca dari nada-nada.

“ Mas Surya, jam berapa ke gerejanya? Nggak buru-buru kan?”

“ Masih agak lama, Dik. Sekitar jam tujuh, lah..”

“ Jangan pulang dulu ya, aku sholat maghrib dulu..”

“ Iya, deh. Jangan lupa, ya.., doanya..”

“ Doa apaan kira-kira ya, Mas?”

“ Emmm,…agar kita,..emph. Nggak tahulah, terserah kamu…hehe..”

“ Bingung, kan.., hihi. Bentar ya, Mas..”, lalu Senja beringsut, harum tubuhnya berkelebat menawarkan sepi.

Itu adalah percakapan kami di waktu dahulu. Bagian dari pencarian-pencarian titik temu, hingga akhirnya kami sadar, meski beriringan tetaplah kami terpisah sepanjang jalan.

Pada senja kami sekarang memiliki rona-rona berbeda. Setelah kami bersepakat untuk menggariskan arah kebersamaan yang selama ini dikuasai bimbang. Memang, sungguh tak mudah ternyata, tapi kepastian haruslah dinyatakan. Meski kepedihan di relung terdalam tak mungkin bisa kami sembunyikan. Kami hanya manusia biasa, berusia muda dan terhampiri cinta.

“ Jangan pulang dulu ya, Mas. aku sholat maghrib dulu..”

“ Iya, deh. Tapi sebaiknya, hapus dulu air matamu..”

Dalam upayanya mengirup, lalu menghempaskan nafas panjang, Senja tersenyum. Bagiku tetaplah anggun sekali. Guncang di bahu itu masih sedikit tersisa, tapi kemudian berangsur melandai. Senja, aku yakin dia pun tahu. Suaraku yang kemarau itu, serta tatapku yang lebih sering menerawang langit-langit teras ini, adalah utusan tangis yang kuredam.

“ Sudah,..sudah kok, Mas. Aku tak menangis lagi..”

“ Sekarang, tak bingung lagi, kan? Doa apa yang ingin kaulantunkan?”

Senja mengangguk pelan. Kemudian hadir kembali keindahan yang masih saja sama. Senja beringsut, harum tubuhnya berkelabat menawarkan sepi,... yang kini kian pasti.

Jelas kucerna sebuah kesedihan. Tiba-tiba ada rasa bersalah yang menyeruak datang. Karena akulah pihak pertama yang menyatakan kepastian jalan. Walau kupikir, baik aku atau pun dia yang mengajukan kata, tak mengubah kenyataan yang ada. Apalagi, sebelumnya kami telah saling melempar diri untuk memutuskan. Hingga akhirnya kami terpaksa melakukan undi seperti kanak-kanak tenggelam dalam dunia permainan, yang kalah harus memulai. Unjuk tangan, aku batu dan Senja kertas.

Berat sekali rasanya untuk memulai. Angan kerdilku semula sangat memimpikan, Senja memekikkan kalimat seperti yang selama ini sering ia ucapkan. “Mas Surya! Kumohon, jangan bicarakan itu dulu!” Tapi, manalah mungkin. Saat-saat seperti ini, mesti sekian lama kami ingkari, tetap disadari akan datang. Dan akulah yang mendapatkan nasib untuk menyatakannya. Sulit..., begitu sulit. Bagaikan hilang kata, hendak membuka dari mana.

“....Senja. Ini bukan karena kita lelah. Tapi, anggaplah di simpang perjalanan ini, kita menemukan .....perhentian yang teduh. Kita tak berpisah. Hanya tak mungkin bersatu. Kebersamaan kita ada di jalan yang berbeda....”

Di depanku, kulihat wanita yang telah menggetarkan hatiku ini terdiam. Tak tampak ketidaksetujuan atas apa yang kuucapkan. Hanya, danau tenang itu mulai terlihat meriak, lalu membadai dalam gelombang. Terwujud dalam guncangan isak di bahu. Dan bening yang meleleh di ujung mata. Kalimat yang tersendat kuluncurkan, haruslah kuhentikan sejenak.

“ Senja...”

“ I..., iya, Mas Surya..”

“ Katakan. Jika tadi, Kau yang menjadi batu, apa yang tersimpan di hatimu?”

Sedikit jeda. Senja mengatur ritme isaknya. Aku tahu, kali ini ia telah mampu mengucapkan isi hatinya.

“ Mas. Aku tak bisa mengatur kalimat sepertimu. Tapi aku ingat ucapanmu,.. tentang rel kereta, saat kita berdua duduk menunggu di bangku stasiun. Bukankah kita seperti rel kereta itu, Mas?”

Menurutku Senja berkata benar. Hanya sanggup mengangguk, aku berikan persetujuan itu. Sebab aku pun mati-matian menahan serak di kerongkongan, agar mendung di mataku tak meneteskan hujan. Lalu angan kami melayang terbang dalam diam, hingga senja itu merayap datang, dan suara Adzan berkumandang, saat baginya untuk meminta waktu padaku.

***

Aku berpamitan setelah Senja usai dengan apa yang ia tunaikan. Sedikit berseling dengan bincang ringan. Sekedar mencoba sedikit saja, mengobati nyeri-nyeri hati. Karena bagi kami tak mudah mengingkari sebuah rasa,.. kehilangan. Entah, berapa lama waktu nanti, untuk seutuhnya menyambut datangnya keikhlasan.

“ Senja,..aku pulang..., terima kasih untuk segalanya..”

Ah. Dia terdiam, kulihat matanya mulai tergenang kembali. Meski senyum itu tetap mengiringi.

“ Mas Surya,..peluk aku...”

Duhai. Angin sepoi yang membelai tepi kerudungnya pun pasti mengerti. Setelah lamanya waktu kebersamaan, pada Senja aku benar-benar berada dalam tulusnya rasa menghargai, terhadap apa yang ia yakini. Tak berkehendak untuk sekalipun menyentuhnya dalam hasrat lelaki. Mungkin pelukan kami adalah sebuah emosi hati, untuk pertama dan terakhir kali. Kehangatan asmara penuh damai dan berbagi debaran hati.

“ Aku selalu berdoa untuk langkah kita ini, Senja.” Bergetar kuucap dalam berkabutnya tatap, setelah kami saling melepas pelukan.

“ Nyanyian-nyanyian kecilku selama ini adalah doa itu, Mas Surya..”

Melangkah perlahan, bersama lambaian tangannya yang gemulai, ingin kubuka lembaran baru, hari baru dengan kenyataan, tentang Senja yang namanya selalu terukir di riwayat cintaku, meski kini bukan lagi kekasih hati.

“ Assalamu alaikum,..Senja..”

“ Alaikum salam.., Shalom, Mas Surya..”

Lalu kami saling tersenyum kecil, dengan kemesraan arti yang hanya untuk kami. Dan aku tahu apa yang ia maksud dengan nyanyian-nyanyian itu. Lebih tepatnya senandung bagiku. Syair-syair lagu yang begitu suka ia lantunkan dalam merdu suaranya. Saat berdua beriring langkah di jalan setapak yang sering kami lalui bersama. Begitu syahdu aku mendengarkan terpaku, sambil takjub memandang wajahnya dengan rindu.

“Peluklah diriku..agar tak jauh denganmu..... Lebih baik kau tidur diatas pangkuanku. Sebelum terlena senandungkanlah doa........... Ukirlah namaku direlung hatimu
Lihatlah mentari perlahan akan tenggelam...... Biasanya kan datang rembulan di waktu malam. Angin bertiup, menyentuh dedaunan..... Nampaknya menari, riang ditemani rembulan”


Biasanya, justru ia sejenak hentikan nyanyiannya, dengan bias berseri merona, ketika aku tak mampu bertahan untuk katakan ”suaramu bagus juga..”. Kemudian kami melangkah kembali, hingga tanpa sadar Senja terlupa, lanjutkan senandungnya. Tentu tak ingin ia berhenti, pasti aku segera padukan suara kami..

“ Tuhan, lihatlah kami....yang tiada lelah berdoa....Dibalik tirai yang sepi...menanti hangatnya diri. Dibawah sinar rembulan...nampak terang menitik...Tatapanmu teduh..indah disinari rembulan..”

Setelah usaikan senandung itu, kami sering menutupnya dengan tawa bersama, bahkan tergelak, seperti gila rasanya. Tawa demi kami berdua yang sesungguhnya berbaur antara harapan dan tanya. Tuhan, lihatlah kami...

Dan senja ini, mungkin jawaban Tuhan untuk kami, ...kisah Surya dan Senja.

***

.

.

C.S.

salam senja...



Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun