Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Semprul! Aku Kapok Comment di Lapakmu!

3 Mei 2012   02:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya yakin hampir semua tahu bahwa sebuah blog bukanlah laman statis seperti era dahulu. Apalagi sebuah blog/situs keroyokan serupa jejaring sosial seperti Kompasiana ini. Secara ideal, ketika melibatkan diri di sana, baik disadari atau tidak akan dihadapkan pada sebuah konsekuensi. Terutama saat kita mengambil posisi sebagai penulisnya.

Mengingat platform Kompasiana ini adalah “Sharing (and) Connecting”, menuju pada mekarnya jurnalisme publik, maka secara sederhanapun tentu diharapkan pada adanya kondisi untuk berbagi dan berinteraksi. Walaupun hanya berlangsung di dunia maya, namum sejatinya di Kompasiana baik diakui ataupun tidak menginginkan suasana seperti di dunia nyata. Ada yang berbicara dengan tulisannya, ada yang membaca, dan tentu saja sangat dimungkinkan ada (banyak) yang memberikan tanggapan/komentar.

Yang saya sebutkan terakhir itu, baik diinginkan atau tidak merupakan sebuah konsekuensi, bahkan akan lebih sesuai dengan “ruh” Kompasiana ini ketika seorang penulis mengharapkan adanya tanggapan. Sangat disayangkan ketika motivasi kita menulis di sini hanyalah menginginkan wacana satu arah, hanya menulis dan tak ingin ada yang menanggapi. Jika merasa ada yang lebih “cocok” dengan hal itu, tak berlebihan jika saya katakan, Kompasiana bukan tempatnya. Ironisnya, hal seperti ini masih sering terjadi. Penulis yang “tidak berharap” tulisannya ditanggapi banyak menuai tanggapan dan penulis yang berharap banyak ditanggapi malah minim/nol tanggapan.

Memang kepastian tentang hal itu tidak serta merta disimpulkan begitu saja, tapi bisa sedikit dipremiskan dari indikasi-indikasinya yang tentunya membutuhkan pengamatan yang tidak cukup sekali atau dua kali saja, dan tentu saja tidak peduli siapapun itu penulisnya. Boleh jadi, penulisnya adalah “orang besar”, jadi sama sekali tidak pernah menanggapi komentar yang masuk. Namun di luar isi tulisannya yang sebaik permata atau sebusuk kotoran kuda pun, tipe-tipe seperti ini sebenarnya tak sesuai dengan platform kompasiana. Itu menurut saya. Dan sekali lagi, penilaian tentang hal itu tentu saja tidak bisa hanya dengan kejadian sekali atau dua, karena tentu saja bisa dimaklumi adanya alasan-alasan lain di dunia nyatanya. Dengan catatan, “alasan itu jujur”, dan kejujuran itu pihak lain hanya bisa mengira-ira, kebenarannya hanya ada di hati penulisnya (tak sempat, terkendala atau memang nggak niat?)

Lalu, apakah tiap komentar yang masuk sebaiknya ditanggapi semua? Menurut saya, secara substansi, IYA! Dengan catatan, komentar itu “tak bermasalah” (caci maki, hujatan, dan sebagainya). Karena untuk komentar “bermasalah”, penulis memiliki hak penuh untuk memperlakukannya, dan perlakuan itu bisa dianggap sebagai sebuah tanggapan. Saya ulangi, ini secara substansi lho ya, karena untuk dianggap telah menanggapi semua komentar itu sungguh beragam caranya, meskipun tidak satu persatu namun kesan bahwa kita sebenarnya telah menanggapi semua komentar itu bisa terbaca.

Memang, alangkah baiknya satu persatu, namun ketika sebuah kondisi yang benar-benar tidak memungkinkan lagi, bisa dimaklumi ketika menanggapi bergaya “artis” yaitu tanggapan komentar secara “sapu jagad”. Dan satu hal yang mungkin ada yang menganggap sepele, namun menurut saya penting karena menyangkut “martabat” (ciee,..sulit mencari kata yang tepat), yaitu jangan sampai kita memberikan tanggapan komentar secara “PILIH KASIH”. Contoh mudahnya adalah memberikan tanggapan yang masuk dengan cara “melompat-lompat”, ketika jelas tak ada “masalah” pada komentar yang anda lompati itu. Padahal, dengan hanya kata “thanks” atau “trims” saja, dia tak akan merasa di abaikan. Tak dipungkiri, semua bisa disengaja atau juga tidak, yang penting ya itu tadi, jujur, jangan dibuat-buat atau merasa sebagai orang paling hebat dan penting sedunia akhirat. Sangat disayangkan jika sampai ada yang kapok berkomentar di lapak anda.

Sebaliknya, pihak pembaca yang telah berkenan menorehkan komentarnya pun perlu berbesar hati untuk kondisi ketika komentarnya tidak mendapatkan respon yang “layak”. Berpikirlah positif (sambil menilai juga tak apa) bahwa penulisnya memang tengah menghadapi “kendala”.

Tapi beneeer! Sueeeer!, memang nggak sempat, koook!! Yang beneeer? Nggak sempat nanggepin tapi kok sudah nulis lagi? Bukannya hanya pengin nulis saja? Karena “ahli”? Yang di tanggepin ya dipilah-pilih, yang kalangan sendiri, sesuai yang ada di hati. Hehe,..becanda,... percaya kok.

Nah, kopi saya sudah datang! Sorry, bukan bermaksud “menggurui” lho, beneer...obrolan ini menurut saya berlaku buat semua, untuk saya, Anda, mereka, bahkan (seorang) admin Kompasiana sekalipun. Ingat! “Sharing Connecting”, semua yang terlibat itu “penting”.

“ Apa yang kamu tak ingin orang lain lakukan padamu, janganlah kamu lakukan itu padanya”

.

.

C.S.

Mudah-mudahan selalu bisa/sempat balas koment, kapan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun