Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ratri, Oh Ratri

26 April 2012   11:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:05 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*Ratri, Oh Ratri, Cintamu Telah Berlalu*

.

.

Senja itu, sepeda motor yang kukendarai belum belumlah jauh meninggalkan pelataran Lembaga Pemasyarakatan (LP) tempat ayahku tercinta menjalani masa hukuman, ketika ponselku bergetar menandakan ada pesan pendek yang masuk. Berharap itu adalah sms yang penting, segera aku menepi untuk secepatnya membaca.

Tertera sebuah nama yang telah tersimpan dalam memorinya. Ratri, gadis cantik teman sekampusku yang sekian lama sudah menjadi kekasih hati.

“ Mas, ke rumah ya, segera, jangan malam-malam, ada yang harus kita bicarakan”

Sedikit penasaran, karena dia jarang memintaku begitu, segera kubalas pesan itu.

“ Iya, aku langsung ke situ”

***

Aku menepati janji, saat tiba di rumahnya memang hari telah gelap, tapi belumlah terlalu malam. Ratri telah menunggu di teras rumahnya, tampak segar dengan baju pesta.”Ah, apakah ada yang kulupa? Bukankah tak ada janji untuk pergi bersama, pesta siapa?”

Dia tersenyum, tapi kutangkap ada yang membebani guratnya. Tampak terpaksa.

“ Loh, Rat, kita mau ke mana?”

“ Nggak kemana-mana kok. Duduklah, Mas, aku mau bicara”

“ Ada apa sih, kok serius banget. Tentang apa?”

“ Tentang kita..”

“ Kita..?”

“ Ya. Tak terasa ya, kita sudah hampir setahun bersama”

“ Hm. Lalu?” aku mulai merasa ada yang aneh di pandangan matanya.

“ Mas. Kurasa kita harus berpikir ulang tentang hubungan kita..”

“ Maksudmu, aku tak mengerti, Ratri..”

“ Nah, itulah yang membuatku ingin kita bicara. Mas selalu saja tak membaca perasaanku..”

“ Rat. Bukankah selama ini kita baik-baik saja?”

“ Nggak, Mas. Kamu tak mengerti”

“ Apa yang tak kumengerti...?”

“ Aku merasa,...kita harus akhiri hubungan ini. Aku tak bisa lagi..”

“ Ke..kenapa?” suara bergetar, tak menyangka itu akan dikatakannya.

“ Mas Surya pasti tahu,apa yang aku rasa. Sekarang ini,...terutama tentang..”

“ Tentang ayahku?!” tukasku agak mengeras.

Ratri tak menjawab, hanya mengangguk dalam tunduk, lalu buang pandangan ke jalanan.

“ Rat, ayahku tak seburuk itu..”

“ Ayahmu koruptor, Mas. Dan kita giat menjadi mahasiswa anti korupsi..”

“ Tapi,..Rat. Vonis itu tak benar. Kamu lihat sendiri, kami tak punya apa-apa. Ayahku hanya tumbal..”

“ Maaf, Mas. Tapi ini fakta yang ada. Dan..aku...aku, tak bisa menerima..”

“ Rat, ini cobaan,..bukankah kita harus lalui bersama..?”

“ Sekali lagi, maafkan aku Mas. Aku sudah putuskan,..kita cukup sampai di sini saja..”

“ Ratri..”

“ Cari saja penggantiku..., yang mampu untuk itu..”

Aku terdiam seribu bahasa. Tak mampu lagi harus berkata apa. Hembus angin tiba-tiba terasa begitu dingin, merasuk ke seluruh jiwaku hingga terasa beku. Mungkin Ratri tahu yang kurasakan, ia pun terdiam, seolah berikan aku kesempatan untuk menata hati, menerima kenyataan. Bahwa ia telah memutuskan.

Tak lama kemudian, gadis ayu yang bukan kekasihku lagi ini berdiri. Tampak tak berkenan lagi aku berlama-lama di sini.

“ Mas, segeralah pulang, sebentar lagi hujan. Aku juga akan segera pergi, ada keperluan..”

“ Ke pesta?”

“ He’em”, dia mengangguk.

Bertepatan waktu ketika tampak sebuah Harrier hitam memasuki halaman. Seorang lelaki tampan yang umurnya sekian tahun di atasku turun dan tersenyum padanya. Disambut Ratri dengan caranya yang sama.

“ Mas Surya, aku pergi duluan. Mari kita saling lupakan”, bisiknya perlahan sambil meninggalkan aku yang tercenung di sadel motorku, hendak pula beranjak pulang.

Mereka pun berlalu. Ketika hujan benar-benar datang, aku perlahan melajukan motorku. Deras dan dingin, menghempas seluruh tubuhku hingga basah menggigil. Nyeri sekali yang kurasa, meski aku harus berterima kasih pada curahnya hujan, yang samarkan titik-titik air mata yang tak mampu kusimpan.

Ratri, cintamu telah berlalu. Namun setidaknya aku tahu, ayahku bukanlah penyebab keputusanmu. Dan aku pun harus pergi dalam senandung hujan dan lagu sendu.

" Waktu hujan turun di malam itu

Sederas hujannya air mataku

Sejak cintamu tlah berlalu

Berlalu..."

***

.

.

.

C.S.

Menye2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun