Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rani, Kembalilah! (Dalam Kehangatan Senja)

30 Januari 2012   08:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:17 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak seperti biasanya yang seringkali hujan. Bogor sore ini begitu cerah. Meski matahari mulai condong ke barat, tak mengurangi keindahan gemericik air pada kolam ikan koi di teras rumah kami. Juga wangi melati, mawar, anggrek dan segala bunga yang tumbuh subur di taman kecil ini. Istriku memang telaten merawat bunga-bunga itu. Sepertinya tanaman-tanamun itu pun nyaman dalam sentuhan tangan lembutnya, yang mulai keriput di usianya yang menjelang senja. Seperti usiaku juga.

Kami sangat menikmati masa-masa pensiun dan beristirahat. Seperti sore ini, istriku asyik dengan kesibukannya menyiram kembang. Sedangkan aku lebih nyaman menikmati teh hangat buatannya, sambil gerakan jariku sesekali keluarkan suara kecil menggoda si Panjul, burung perkutut kesayanganku yang mulai fasih manggung (kicauan khas perkutut). Diselingi juga dengan suara siul lembutku yang membuat si Panjul semakin bersemangat menyanyi.

“ Cetat! Cetet!...kurrrr...ketukut...”.

“ Kurr...ketekut...kut..kut..kutt...kuttt...”

Begitulah suara perpaduan jariku, dan sambutan nyanyian si Panjul perkututku. Hmm...lumayan juga Si Panjul ini, bunyi “kut”-nya sudah mencapai empat kali, itu adalah sebuah keunggulan. Tenteram sekali menikmati sore ini, meski hanya bertiga, Aku, Istriku dan si Panjul.

Ketenangan kami terusik oleh bunyi ketokan pagar. Istriku bergegas melangkah untuk melihat siapa yang datang.

“Siapa Bune?”

“Anak kita Pak, ....Rani”.

Kudengar suara istriku yang menyebut nama anak kami satu-satunya. Rani sudah dua tahun ini berpisah dari kami. Karena sudah berumah tangga dan tinggal mengikuti suaminya di Jakarta.

Kami duduk bertiga di teras ini. Sejenak ada kegembiraan karena rasa kangenku. Tapi raut gembiraku itu segera hilang tertiup angin ketika kulihat anakku Rani diliputi mendung. Matanya sembab, tampak jelas kalau ada bekas tangisan. Ah,..ada apa ini.

“ Kamu kenapa Nduk?...datang-datang kok murung seperti itu”, tanya istriku sabar.

“ Mas Aryo, Bu. Dia keterlaluan..”, jawab Rani sedikit terisak saat menyebut nama suaminya.

Aku masih diam. Meski memperhatikan cakap mereka, aku tetap lebih tertuju pada gerakan jariku dan nyanyian si Panjul.

Kurr...ketukut..kut..kut..kut...kut..kut!

Aku berseri kembali. Bunyi “kut”, si Panjul ternyata bisa mencapai lima kali. Wah,..hebat perkututku ini.

“ Pakne!,..mbok ya brenti dulu mainin burungnya. Anaknya lagi kesusahan juga,..kok..”, sergah istriku.

“ Iya,..Bune. Aku ndengerin kok. Udah, lanjutin saja”.

Meski agak kesal dengan lagakku, istriku tidak mengomentari lagi. Dia kembali serius bercakap dengan Rani.

“ Memang kenapa dengan suamimu? Kalian bertengkar?

Rani terdiam.

“ Kenapa? Dia kasar? Mukul kamu?”

Anakku menggeleng.

Cetet!..Cetet!,..suara jariku menyelingi curhat dua wanita di dekatku ini. Juga suara merdu si Panjul yang semakin moncer. Kur..tekukut..., nyanyiannya kurasa jauh lebih merdu dan nyaman di hati dibanding suara percakapan mereka, yang tetap aku perhatikan.

“ Lalu kenapa dong, Ran?...sampai-sampai kamu harus pulang ke sini”.

“ Mas Aryo sudah keterlaluan, Bu. Dia selingkuh..”, Jawabnya setelah sejenak terdiam.

Ada jeda. Mereka terdiam. Istriku terdiam, aku pun ikut-ikutan terdiam, agak tercekat. Sepintas ku lihat pandangan istriku tajam ke arahku, jelas ingin agar aku buka suara. Ah, tapi aku kembali saja asik dengan kicau si Panjul.

“ Kamu yakin?”

“ Dia sudah mengakui kok, Bu”.

“ Hm,..lalu. Dia pergi dengan wanita lain? Ninggalin kamu?”

“ Dia bilang sudah putus. Minta maaf”.

“ Terus?”

“ Aku mau cerai, saja! Sakit sekali Bu, rasanya..”.

“Ssst..”

Rani menghambur ke pelukan ibunya, gumpalan tangis yang mungkin sekian lama dia tahan akhirnya membadai. Istriku diam. Dengan lembut dia usap kepala dan punggung anak kami yang umurnya sudah menuju kepala tiga ini. Cukup lama, hingga akhirnya mereda juga. Sedangkan aku, meski dalam gemuruh galau di hati, kembali tenggelam dalam aksi burung kelangenanku.

Kurr...ketukut...kut..kut..kut..kut..!

“Ah. Njul..kenapa hanya empat kali lagi kut-mu?” gumamku.

“Pakne!,...sudah to!Ini serius, anak kita punya masalah! Kok malah perkutuuuut melulu yang diurusin”.

“ Hmm. Iya aku juga dengar dari tadi kok”, Sanggahku.

“ Lha, terus gimana?”

“Gimana, apanya Bune?”

“ Rani, anak kita ini gimana?”

Kupandang anakku yang mewarisi kecantikan ibunya ini. Dia agak menunduk, entah karena malu atau jengkel karena sedari tadi aku seperti mengabaikannya.

“Rani..”. Suaraku berusaha lembut.

“ Iya, Pak”.

“ Sudah mulai sore, nih”.

“ Ke..kenapa Pak?”.

“ Ya. Kamu harus segera pulang. Pulanglah ke suamimu!”.

“ Pak, Bapak nggak ngerti perasaan Rani”. Dia mulai berkaca-kaca lagi.

“Hm. Aku mengerti sekali. Cepat! Pulanglah kamu ke suamimu!” suaraku agak meninggi.

“ Paaak!,..hati Rani, sakit sekali Pak..”.

“ Iya, Aku tahu. Tapi apakah dengan begini kamu harus pergi? Mau ngapain lagi kamu, ha! Mencari laki-laki yang “setengah dewa”? Yang tak mungkin berbuat salah? Dengar Rani, Aryo tetaplah lelaki yang bertanggung jawab. Kamu pikir untuk mengakui dan meminta maaf supaya kembali itu mudah?!”.

Rani terdiam. Jemarinya sibuk melipat-lipat ujung bajunya yang tidak bersalah apa-apa.

“ Ta..tapi, Pak”.

“ Sudahlah, Rani. Pulanglah! Kami senang sekali kamu berkunjung ke sini, tapi bukan untuk lari”.

Akhirnya gerakan yang kuidamkan itu tiba. Rani mengusap bersih semua air matanya, dan sekilas wajahnya sedikit bersinar dalam sibuknya merapikan rambutnya yang berkeriapan.

“ Baiklah, Pak, Bu. Rani pulang, mohon doa restunya”.

“ Iya, Nak”. Kami menjawab hampir berbarengan, lalu kami bertiga berpelukan. Setelah itu Rani melangkah pelan ke luar rumah. Langkahnya lebih berjiwa sekarang, dia telah memutuskan untuk pulang.

Kami berdua memandang lekat punggung anak kami tercinta hingga bayangnya lenyap di balik pagar. Kami berdua berjumpa pandangan, lalu berpelukan seakan kembali berada pada masa kisah pernikahan yang dulu, saat seusia anak kami, Rani.

“ Semoga, Rani mampu berbesar hati. Seperti kamu dahulu, ya, Bune?”

“ Hm..., maksud Pakne? Seperti aku dulu?...hmmmm..”

“ Iya lah. Bune,..istriku , wanita paling mulia..”.

“ Halah..udah tua pake rayu-rayuan. Mudah-mudahan juga, Si Aryo juga bisa sepertimu, Pakne”.

“ Lho,..Kok malah ngenyek (menghina)? Maksudmu apa, bune?”

“ Yaaa, seperti kamu lah, yang menepati janji. Nggak selingkuh lagi”.

“ Hehe..., itu. Eh, tapi jujur saja bune. Aku sudah selingkuh lagi kok”.

“Apa???, jangan macem-macem lho, sudah tua juga kok”.

Selingkuh sama si Panjul tuh...he...he..he”.

“Dasaaaar”.

Istriku mencubit lembut perutku yang semakin buncit. Senja mulai datang, kami memutuskan beranjak ke dalam. Tangan lembut istriku tampak penuh kasih merapikan gelas dan tatakan teh yang sore ini tandas ku minum. Si Panjul pun semakin bersemangat menyanyi, suaranya semakin menenteramkan rumah tua kami yang tidak pernah terasa sepi.

Kur..ketekut..kut..kut..kut...kut..kut..

Ahai!, aku berseri. Bunyi kut-nya si Panjul kembali bisa mencapai lima kali. Esok hari, aku yakin nyanyiannya akan semakin merdu menghiasi rumah kami ini. Semakin padu dengan gemericik jernih kolam ikan koi dan semerbak bunga mawar, anggrek dan melati yang kuncupnya serentak mengembang penuh aroma wangi.

.

.

.

C.S.

jan/2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun