Tujuh orang narapidana korupsi, yang sebagian besar adalah mantan-mantan anggota DPR mungkin sedang tersenyum sekarang. Melalui kuasa hukum mereka, Yusril Ihza Mahendra yang juga Mantan Menteri Hukum dan HAM mereka berhasil menggagalkan langkah pemerintah terkait pengetatan remisi bagi narapidana korupsi. Yusril sukses, “jeruk makan jeruk”, rabu kemarin Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan mereka terkait Surat Keputusan Pembatalan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin.
Dengan gugurnya surat-surat keputusan terkait pengetatan remisi koruptor itu dapat diartikan bahwa langkah untuk sedikit lebih membuat koruptor jera masih tertunda atau bahkan terganjal. Sebenarnya hal ini cukup mengecewakan, mengingat langkah ini secara substansi adalah sebuah kemajuan. Sangat disayangkan Menteri Hukum dan HAM, termasuk juga Denny Indrayana sebagai wakilnya terkesan “gegabah” dengan terbitnya produk surat keputusan itu. Menerbitkan surat keputusan meskipun mungkin tujuannya baik untuk mempertegas hukuman kepada para koruptor jika tidak dilakukan dengan cermat/prosedural akan sangat rawan terganjal. Apalagi yang dilawan adalah para koruptor yang nyata-nyata pintar serta melek hukum.
Dan sepertinya Menteri Hukum dan HAM sendiri menyadari hal ini, tersirat dia mengakui bahwa surat keputusan (pengetatan remisi) memang “cacat hukum” karena tidak sesuai dengan peraturan di atasnya ( UU No.7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi). Buktinya tersiar kabar pihaknya tidak berkehendak mengajukan banding dan hendak melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Lebih disayangkan lagi dan membuat prihatin adalah pihak DPR dalam hal ini sejumlah anggota Komisi Hukum pengusung hak interpelasi tentang remisi koruptor. Mereka yang sejak awal mengusung hal ini serasa mendapatkan angin segar untuk melanjutkan agendanya.
Satu hal yang membuat Saya sebagai salah seorang rakyat tak habis pikir bahwa ternyata gontok-gontokan antara DPR dan Pemerintah ini selalu saja sulit untuk usai. Hal yang membuat sebuah substansi yang seharusnya nyata harus diperjuangkan malahan diabaikan.
Jika semua pihak memandang hukuman berat harus lebih dipertegas bagi para koruptor, sudah selayaknya masing-masing pihak saling melengkapi agar senjata yang dipergunakan itu sempurna. DPR seharusnya lebih mengedepankan saran pendapat agar produk yang dihasilkan oleh pemerintah dalam menghukum koruptor itu lebih kuat dan prosedural, bukan hanya malah ingin berniat menginterpelasi yang tujuannya hendak menjatuhkan pemerintahan. Para pengusung interpelasi ini lebih membesar-besarkan dugaan bahwa kebijakan ini beraroma politis dan pencitraan, mereka ingin Presiden mencopot menteri yang menerbitkan keputusan cacat. Ini jauh panggang dari api. Sangat bias pemahaman mereka tentang alasan “melanggar hukum” menteri hukum dan HAM itu. Dibatalkannya surat keputusan itu oleh PTUN seharusnya tidak serta merta pejabat pembuatnya dianggap melanggar hukum, namun lebih fokus pada produk surat keputusan itulah yang harus dibatalkan/cabut karena cacat hukum. Pejabat yang menerima putusan dan melaksanakannya justru dapat dianggap patuh hukum. Jika diambil tolak ukurnya adalah pejabat, maka pejabat itu dianggap melanggar hukum ketika tidak melaksanakan putusan PTUN itu tadi, di sinilah Presiden selaku pejabat di atasnya yang wajib memberikan sanksi.
Ah, itulah DPR, semua-semua dapat mereka “pelesetkan” sebagai sebuah pelanggaran hukum, bukannya mendukung agar pelaksanaan hukum (pengetatan remisi) itu berjalan secara benar, mereka malah begitu bersemangat untuk menggagalkan. Namun mereka pun tetap dengan lincahnya berkelit ketika ada pendapat yang menganggap mereka “membela koruptor”.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM juga seharusnya jujur dan mengambil pelajaran. Rakyat sih sebenarnya tidak terlalu peduli apakah kebijaksanaan itu hendak bertujuan pencitraan atau tidak, sepanjang tujuannya sesuai dengan keinginan rakyat. Namun jika apa yang diterbitkan ternyata “grasa-grusu” dan lemah secara hukum, akhirnya hanya membuat kekecewaan saja. Sebuah pelajaran agar kedepan lebih hati-hati dalam menerbitkan surat keputusan. Koruptor itu banyak yang pintar, apalagi jika ternyata masih begitu besar tangan-tangan kuat sodorkan dukungan.
Bukan sok pintar, anggaplah ini obrolan sambil ngopi, semoga ke depan lebih baik. Salam rakyat.
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H